Paradigma Baru Pendidikan Nasional
DEMOKRATISASI DAN DESENTRALISASI (OTONOMI DAERAH)


Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat.
Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis.


Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.


Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimla pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).


Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikandan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 - ("Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional") - (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2).


Sumber pendanaan pendidikanditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2) Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikanlintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikandasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikandasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.


Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikandengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut.


Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis.


Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikanpada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenagatenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikanyang dapat
menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia.


Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkwalitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)).


Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masing-masing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah.


PERAN SERTA MASYARAKAT


Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2).

Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah.

 

Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli terhadap pendidikan. Sedangkan komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).

 

 

 

 

TANTANGAN GLOBALISASI                                                                            

Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3).


Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2).


Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3). Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.
Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan.

Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2).

 

KESETARAAN DAN KESEIMBANGAN


Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan "plat merah" atau "plat kuning"; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).


Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).

Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.


JALUR PENDIDIKAN


Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalamSisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebutsebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luarsekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit.
Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15).

Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).
Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP.

 

Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan).
Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi menjadi SMA.

Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat 1- 3).

Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal 22).


Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71).


Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan
nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6).


Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27).

Sumber: Arifin, Anwar, Prof. Dr., Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam
Undang-Undang SISDIKNAS, POKSI VI FPG DPR RI, 2003.

 

Manajemen Berbasis  Sekolah     Howard M. Carlisle menyatakan : Management is the process by which the element of a group are integrated, coordinated, and efficiently achieve objective (Manajemen adalah proses pengintegrasian, pengkordiasian dan pemanfaatan elemen-elemen suatu kelompok untuk mencapai tujuan secara efisien).

     Dengan demikian Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan proses pengintegrasian, pengkoordinasian dan pemanfaatan dengan melibatkan secara menyeluruh elemen-elemen yang ada pada sekolah untuk mencapai tujuan (mutu pendidikan) yang diharapkan secara efisien. Atau dapat diartikan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model manajemen yang memberikan otonomi (kewenangan) yang lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan yang partisipatif yaitu melibatkan semua warga sekolah berdasarkan kesepakatan bersama.Dengan adanya otonomi (kewenangan) yang lebih besar diharapkan sekolah memiliki kewenangan secara mandiri dalam mengelola sekolah dan memilih strategi dalam meningkatkan mutu pendidikan serta dapat memilih pengembangan program yang lebih sesuai dengan potensi kebutuhan daerah dimana lulusannya akan diproyeksikan.

C. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Tujuan Umum MBS :

Memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian otonomi kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.

Tujuan Khusus MBS :

1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan    memberdayakan sumber daya yang ada.

2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalampenyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.

3. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada masyarakat.

4. Meningkatkan persaingan yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang ingin dicapai.

 

D. Konsep Dasar Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

 

Konsep dasar Manajemen Berbasis Sekolah adalah manajemen yang

bernuansa otonomi, kemandirian dan demokratis.

1. Otonomi, mempunyai makna bahwa kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah dalam mencapai tujuan sekolah (mutu pendidikan) menurut prakarsa berdasarkan aspirasi dan partisipasi warga sekolah dalam bingkai peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

2. Kemandirian, mempunyai makna bahwa dalam pengambilan keputusan tidak tergantung pada birokrasi yang sentralistik dalam mengelola sumber daya yang ada, mengambil kebijakan, memilih strategi dan metoda dalam memecahkan persoalan yang ada, mampu menyesuaikan dengan kondisi

lingkungan serta peka dan dapat memanfaatkan peluang yang ada.

3. Demokratif, mempunyai makna seluruh elemen-elemen sekolah dilibatkan dalam menetapkan, menyusun, melaksanakan dan mengevaluasi pelaksanaan untuk mencapai tujuan sekolah (mutu pendidikan) sehingga memungkinkan tercapainya pengambilan kebijakan yang mendapat dukungan dari seluruh elemen-elemen warga sekolah.

 

E. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

 

Karakterisitk Manajemen Barbasis Sekolah tentunya tidak terlepas dari

pendekatan Input, Proses, Output Pendidikan.

1. Input Pendidikan

a. Memiliki kebijakan, tujuan dan sasaran mutu yang jelas.

b. Tersedianya sumber daya yang kompetitif dan berdedikasi.

c. Memiliki harapan prestasi yang tinggi.

d. Komitmen pada pelanggan.

2. Proses Pendidikan

a. Efekttivitas dalam proses belajar mengajar tinggi.

b. Kepemimpinan yang kuat.

c. Lingkungan sekolah yang nyaman.

d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif.

e. Tim kerja yang kompak dan dinamis.

f. Kemandirian, partisipatif dan keterbukaan (transparasi).

g. Evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan.

h. Responsif, antisipatif, komunikatif dan akuntabilitas.

3. Output yang diharapkan

Pada dasarnya output yang diharapkan merupakan tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan secara umum

.

F. Langkah-langkah Perumusan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

 

Untuk merumuskan implementasi manajemen berbasis sekolah harus ada tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Perencanaan

Pada langkah awal perumusan MBS, hal-hal yang perlu dilaksanakan adalah :

a. Mengidentifikasi sistem, budaya dan sumber daya, mana yang perlu

                 dipertahankan dan mana yang harus dirubah dengan memperkenalkan

                 terlebih dahulu format yang baru dan tentunya lebih baik.

b. Membuat komitmen secara rinci yang diketahui oleh semua unsur yang

                             bertanggung jawab.

c. Hadapilah penolakan terhadap perubahan dengan memberi pengertian

d. Berkerja dengan semua unsur sekolah dalam menjelaskan atau

                             memaparkan visi, misi, tujuan, sasaran, rencana dan program-program      penyelenggaraan MBS.

e. Menggaris bawahi prioritas sistem, budaya dan sumber daya yang

     belum ada dan sangat diperlukan.

2. Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah

Pada umumnya tantangan sekolah bersumber pada output (lulusan) sekolah yang meliputi kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi. Maka sangat diperlukan identifikasi dari hasil analisis output untuk mengetahui tingkat kualitas, produktifitas, efektibilitas dan efisiensi dari output yang dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan.

 

 

3. Merumuskan visi, misi, tujuan sasaran sekolah yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah.

- Visi adalah gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya.

- Misi adalah tindakan untuk mewujudkan atau merealisasikan visi tersebut.

- Tujuan adalah apa yang ingin dicapai atau dihasilkan oleh sekolah yang bersangkutan dan kapan tujuan itu mungkin dicapai.

- Sasaran adalah penjabaran tujuan yang akan dicapai oleh sekolah dalam jangka waktu lebih pendek dibandingkan dengan tujuan sekolah. Rumusannya harus berupa peningkatan yang spesifik, terukur, jelas kriterianya dan disertai indicator yang rinci.

 

4. Mengidentifikasi fungsi-fungsi yang diperlukan untuk mencapai sasaran.

Fungsi-fungsi yang dimaksud adalah unsur-unsur kegiatan beserta unsurunsur pendukungnya yang saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Sejauh mana kesiapan fungsi-fungsi tersebut terhadap kegiatan yang akan dilaksanakan dalam mencapai sasaran.

 

5. Melakukan analisis potensi lingkungan (analisis SWOT)

Analisis SWOT dilakukan dengan maksud untuk mengenali kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan utnuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

Prinsip analisis SWOT adalah :

- Kekuatan-kekuatan apa yang kita miliki ?

Bagaimana memanfaatkannya ?

- Kelemahan-kelemahan apa yang kita miliki ?

Bagaimana meminimalkannya ?

- Peluang-peluang apa yang ada ?

Bagaimana memanfaatkannya ?

- Ancaman apa yang mungkin menghambat keberhasilan ?

Bagaimana mengatasinya ?

 

6. Memilih langkah-langkah alternatif pemecahan persoalan.

Dalam setiap kegiatan dimungkinkan adanya permasalahan yang timbul. Hendaklah kita tidak menghindari masalah akan tetapi harus kita hadapi dengan solusi pemecahan yang sudah kita rencanakan sebelumnya.

 

7. Menyusun Rencana Program Peningkatan Mutu.

Penyusunan program peningkatan mutu harus disertai langkah-langkah pemecahanan persoalan yang mungkin terjadi. Fungsi yang terlibat beserta unsur-unsurnya membuat rencana program untuk jangka pendek, menengah dan jangka panjang serta bersama-sama merealisasikan rencana program tersebut. (rencana program biasanya tertuang dalam renstra sekolah).

 

8. Melaksanakan Rencana Program Peningkatan Mutu

Dalam melaksanakan rencana peningkatan mutu maka fungsi-dungsi terkait hendaknya memanfaatkan sumber daya secara maksimal, efektif dan efisien.

 

9. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program, baik program jangka pendek maupun program jangka panjang.

 

10. Merumuskan Sasaran Peningkatan Mutu Baru.

Dari hasil evaluasi kita dapat memperoleh tingkat keberhasilan dan kegagalannya sehingga dapat memperbaiki kinerja program yang akan datang. Disamping itu evaluasi juga sangat berguna sebagai bahan masukan bagi sekolah untuk merumuskan sasaran (tujuan) peningkatan mutu untuk tahun yang akan datang.

 

 

G. Penutup.

 

Bahwa penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan menghasilkan

nilai positif bagi sekolah antara lain :

1. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamanbagi sekolah yang bersangkutan sehingga sekolah dapat lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.

2. Sekolah lebih mengetahui kebutuhan skala prioritas.

3. Pengambilan keputusan lebih partisipatif terutama dalam hal :

a. Menetapkan sasaran peningkatan mutu

b. Menyusun rencana peningkatan mutu

c. Melaksanakan rencana peningkatan mutu

d. Melakukan evaluasi pelaksanaan peningkatan mutu.

4. Penggunaan dana lebih efektif dan efisien sesuai dengan skala prioritasnya

5. Keputusan bersama lebih menciptakan transparasi dan demokrasi

6. Dapat lebih meningkatkan rasa tanggung jawab.

7. Menumbuhkan persaingan sehat sehingga diharapkan adanya upaya inovatif.

 

 

SUMBER PUSTAKA

 

1. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Direktorat Pendidikan

Menengah Umum Depdiknas.

2. Buku Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan Edisi 2004

UU Sistem Pendidikan Nasional
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang: a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;

b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;

c. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;

d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

Mengingat:       Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

DENGAN PERSETUJUAN BERSAMA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
DAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan:  UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

2. Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

3. Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

4. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

5. Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.

6. Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.

7. Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

8. Jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

9. Jenis pendidikan adalah kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

10. Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

11. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

12. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapatdilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

13. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

14. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

15. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

16. Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.

17. Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

18. Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

19. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

20. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

21. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.

22. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

23. Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana.

24. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang peduli pendidikan.

25. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.

26. Warga negara adalah Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

27. Masyarakat adalah kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

28. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.

29. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

30. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

 

BAB II
DASAR, FUNGSI, DAN TUJUAN

Pasal 2

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 3

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

BAB III
PRINSIP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

Pasal 4

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

 

BAB IV
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA,
ORANG TUA, MASYARAKAT, DAN PEMERINTAH

Bagian Kesatu
Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pasal 5

(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.

(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

(3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.

(4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.

(5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

 

Pasal 6

(1) Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

(2) Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.

 

Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Orang Tua

Pasal 7

(1) Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya.

(2) Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.

 

Bagian Ketiga
Hak dan Kewajiban Masyarakat

Pasal 8

Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.

Pasal 9

Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Bagian Keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah
dan Pemerintah Daerah

Pasal 10

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun.

 

BAB V
PESERTA DIDIK

Pasal 12

(1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak:

a. mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama;

b. mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya;

c. mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

d. mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;

e. pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara;

f. menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.

(2) Setiap peserta didik berkewajiban:

a. menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan;

b. ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4) Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VI
JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 13

(1) Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.

(2) Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh.

 

Pasal 14

Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pasal 15

Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus.

Pasal 16

Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

Bagian Kedua
Pendidikan Dasar

Pasal 17

(1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

(2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.

(3) Ketentuan mengenai pendidikan dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga
Pendidikan Menengah

Pasal 18

(1) Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

(2) Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menengah kejuruan.

(3) Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.

(4) Ketentuan mengenai pendidikan menengah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keempat
Pendidikan Tinggi

Pasal 19

(1) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan sistem terbuka.

(2) Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

 

Pasal 20

(1) Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.

(2) Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

(4) Ketentuan mengenai perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 21

(1) Perguruan tinggi yang memenuhi persyaratan pendirian dan dinyatakan berhak menyelenggarakan program pendidikan tertentu dapat memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakannya.

(2) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(3) Gelar akademik, profesi, atau vokasi hanya digunakan oleh lulusan dari perguruan tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(4) Penggunaan gelar akademik, profesi, atau vokasi lulusan perguruan tinggi hanya dibenarkan dalam bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan.

(5) Penyelenggara pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan pendirian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan bukan perguruan tinggi yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penutupan penyelenggaraan pendidikan.

(6) Gelar akademik, profesi, atau vokasi yang dikeluarkan oleh penyelenggara pendidikan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dinyatakan tidak sah.

(7) Ketentuan mengenai gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 22

Universitas, institut, dan sekolah tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni.

Pasal 23

(1) Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.

 

Pasal 24

(1) Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan.

(2) Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.

(3) Perguruan tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan prinsip akuntabilitas publik.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 25

(1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi.

(2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya.

(3) Ketentuan mengenai persyaratan kelulusan dan pencabutan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kelima
Pendidikan Nonformal

Pasal 26

(1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

(3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.

(4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.

(5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

(6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

(7) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keenam
Pendidikan Informal

Pasal 27

(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai pengakuan hasil pendidikan informal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketujuh
Pendidikan Anak Usia Dini

Pasal 28

(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedelapan
Pendidikan Kedinasan

Pasal 29

(1) Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

(2) Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah non-departemen.

(3) Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

(4) Ketentuan mengenai pendidikan kedinasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kesembilan
Pendidikan Keagamaan

Pasal 30

(1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.

(3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.

(5) Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kesepuluh
Pendidikan Jarak Jauh

Pasal 31

(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(2) Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka ataureguler.

(3) Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kesebelas
Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus

Pasal 32

(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VII
BAHASA PENGANTAR

Pasal 33

(1) Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.

(2) Bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu.

(3) Bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar pada satuan pendidikan tertentu untuk mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

 

BAB VIII
WAJIB BELAJAR

Pasal 34

(1) Setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun dapat mengikuti program wajib belajar.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB IX
STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN

Pasal 35

(1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.

(2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.

(3) Pengembangan standar nasional pendidikan serta pemantauan dan pelaporan pencapaiannya secara nasional dilaksanakan oleh suatu badan standardisasi, penjaminan, dan pengendalian mutu pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB X
KURIKULUM

Pasal 36

(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

(3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global; dan
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.

(4) Ketentuan mengenai pengembangan kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 37

(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan;
c. bahasa;
d. matematika;
e. ilmu pengetahuan alam;
f. ilmu pengetahuan sosial;
g. seni dan budaya;
h. pendidikan jasmani dan olahraga;
i. keterampilan/kejuruan; dan
j. muatan lokal.

(2) Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.

(3) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 38

(1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah.

(3) Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

(4) Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

 

BAB XI
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 39

(1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.

(2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.

 

Pasal 40

(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:

a. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
b. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;

d. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan

e. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

(2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:

a. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;

b. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan

c. memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

 

Pasal 41

(1) Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.

(2) Pengangkatan, penempatan, dan penyebaran pendidik dan tenaga kependidikan diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.

(4) Ketentuan mengenai pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 42

(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasisesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2) Pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi dihasilkan oleh perguruan tinggi yang terakreditasi.

(3) Ketentuan mengenai kualifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 43

(1) Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.

(2) Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

(3) Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 44

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

(2) Penyelenggara pendidikan oleh masyarakat berkewajiban membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakannya.

(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan formal yang diselenggarakan oleh masyarakat.

 

BAB XII
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

Pasal 45

(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

(2) Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XIII
PENDANAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu
Tanggung Jawab Pendanaan

Pasal 46

(1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(3) Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua
Sumber Pendanaan Pendidikan

Pasal 47

(1) Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan.

(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Ketentuan mengenai sumber pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga
Pengelolaan Dana Pendidikan

Pasal 48

(1) Pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Keempat
Pengalokasian Dana Pendidikan

Pasal 49

(1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

(2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

(3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XIV
PENGELOLAAN PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 50

(1) Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab Menteri.

(2) Pemerintah menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.

(3) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.

(4) Pemerintah Daerah Propinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah Kabupaten/Kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah.

(5) Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola pendidikan dasar dan pendidikan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.

(6) Perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya.

(7) Ketentuan mengenai pengelolaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 51

(1) Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.

(2) Pengelolaan satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi, akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang transparan.

(3) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 52

(1) Pengelolaan satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

(2) Ketentuan mengenai pengelolaan satuan pendidikan nonformal sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua
Badan Hukum Pendidikan

Pasal 53

(1) Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.

(2) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

(3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

(4) Ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan Undang-undang tersendiri.

 

BAB XV
PERAN SERTA MASYARAKAT
DALAM PENDIDIKAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 54

(1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.

(2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua
Pendidikan Berbasis Masyarakat

Pasal 55

(1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

(2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.

(3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

(5) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga
Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah

Pasal 56

(1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

(2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/ Kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

(3) Komite sekolah/madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

(4) Ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XVI
EVALUASI, AKREDITASI, DAN SERTIFIKASI

Bagian Kesatu
Evaluasi

Pasal 57

(1) Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

(2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan.

 

Pasal 58

(1) Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.

(2) Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

 

Pasal 59

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

(2) Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.

(3) Ketentuan mengenai evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Kedua
Akreditasi

Pasal 60

(1) Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

(2) Akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh Pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik.

(3) Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka.

(4) Ketentuan mengenai akreditasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Bagian Ketiga
Sertifikasi

Pasal 61

(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi.

(2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi.

(3) Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi.

(4) Ketentuan mengenai sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XVII
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN

Pasal 62

(1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

(2) Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.

(3) Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberi atau mencabut izin pendirian satuan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Ketentuan mengenai pendirian satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 63

Satuan pendidikan yang didirikan dan diselenggarakan oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara lain menggunakan ketentuan Undang-undang ini.

BAB XVIII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
OLEH LEMBAGA NEGARA LAIN

Pasal 64

Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 65

(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia.

(3) Penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola Warga Negara Indonesia.

(4) Kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XIX
PENGAWASAN

Pasal 66

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dewan pendidikan, dan komite sekolah/ madrasah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.

(3) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

 

BAB XX
KETENTUAN PIDANA

Pasal 67

(1) Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/ atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Penyelenggara perguruan tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Pasal 68

(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) dan/atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 69

(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) dan ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

 

Pasal 70

Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pasal 71

Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72

Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang pada saat Undang-undang ini diundangkan belum berbentuk badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-undang yang mengatur badan hukum pendidikan.

Pasal 73

Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib memberikan izin paling lambat dua tahun kepada satuan pendidikan formal yang telah berjalan pada saat Undang-undang ini diundangkan belum memiliki izin.

Pasal 74

Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) yang ada pada saat diundangkannya Undang-undang ini masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini.

BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 75

Semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-undang ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya Undang-undang ini.

Pasal 76

Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 77

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2003
Presiden Republik Indonesia,

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada Tanggal 8 Juli 2003
Sekretaris Negara Republik Indonesia,

Bambang Kesowo


Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2003
TENTANG
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL


I. UMUM

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya, Pendidikari. merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebuikan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkaikan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, Untuk itu, seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulun, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragama, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi pengbapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidlkan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memperbaharui visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan nasional, Pendidikan nasional mempunyal visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yakni berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dengan visi pendidikan tersebut. Pendidikan nasional mempunyai misi sebagai berikut;

1. mengupayakan parluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia:

2. membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat bermoral;

3. meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral;

4. meningkatkan keprofesional dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan

5. memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan melijadi varia negara yang demokratis serta bertanggung jawab, Pembaharuan sistem pendidikan memerlukan strategi tertentu.

Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam undang-undang ini meliputi:

1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2. Penrtimbangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
3. pProses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
4. Evaluasi, akreditasi, dan sertikasi pendidikan yang memberdayakan;
5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6. penyediaan sarana belajar yang mendidik;

7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;

8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9. pelaksanaan wajib belajar;
10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11. pemberdayaan peran masyarakat;
12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan strategi tersebut diharapkan visi. misi, dan tujuan pendidikan naslonal, dapat terwujud secara efektlf dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.

Pembaharuan sistem pendidikan nasional perlu pula disesuaikan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Repunlik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Sehubungan dengan hal-hal di atas, Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional perlu diperbaharui dan diganti.