PROFESI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

TENAGA KEPENDIDIKAN DAN PESERTA DIDIK Oleh: Firdaus Dt. St. Mamad Ada fenomena yang crusial muncul di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini. Dimana profesi guru sangat diminati oleh masyarakat. Ini dapat dibuktikan di IAIN yang mana Fakultas Tarbiyah lebih banyak diminati oleh calon mahasiswa dari pada fakultas lain. Yang menjadi pertanyaan penulis, apakah masyarakat berminat sebagai profesi guru karena mereka sudah memahi profesionalisme guru atau karena peluang untuk menjadi pegawai negeri dari guru lebih besar dari pada profesi lain? Agar tidak terjadi kesalah paham dalam memahami profesi guru, maka dalam makalah ini difokuskan pembahasannya tentang Tenaga Kependidikan dan Peserta Didik.

Pada bagian Tenaga Kependidikan akan dibahas, pengertian tenaga kependidikan, keutamaan pendidik, tugas dan tanggung jawab pendidik, kode etik (syarat-syarat) pendidik dan guru yang profesional. Pada bagian Peserta didik akan dibahas tentang pengertian peserta didik, potensi peserta didik, kebutuhan peserta didik dan dimensi peserta didik yang akan dikembangkan.

Tenaga Kependidikan

Pengertian Tenaga Kependidikan

Tenaga kependidikan menurut UU RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Ps. 1 ayat 5, adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, sedangkan pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhusususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Ps. 39. dijelaskan pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan , serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Dalam makalah ini penulis menfokuskan pembahasan kepada pendidik. Pendidik menurut bahasa berarti orang yang mendidik (Poerwadarminta, 1991:250) Dalam konteks pendidikan Islam, pendidik disebut dengan murabbi, mu'allim dan muaddib (Ramayulis, 2004:84).Kata murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi, sebagaimana diungkap- kan dalam al-Qur'an Surat Ali Imran: 79 (… wa lakun kunu rabbanina bima kuntum tu'alimuna al-kitaba wa bima kuntum tadrusun) "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya". Kata mu'allim isim fail dari 'allama, yu'allimu sebagaimana ditemukan dalam al-Qur'an Surat Al-Baqarah: 31 (wa 'allama adama al-asma-a kullaha…) "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…". Kata muaddib, berasal dari addaba, yu'addibu sebagaimana terdapat dalam hadis Nabi ( Addabani rabbi fa ahsana ta' dibi ) " Allah telah mendidik saya dengan sebaik-baik pendidikan". (Abu Hasan, 1989: 493). Di samping itu, dalam bahasa Arab kita juga mengenal istilah ustadz, mudarris untuk panggilan pendidik (guru). Di kalangan tarekat, kita mengenal istilah syekh, khalifah, tuangku, mursyid untuk pendidik. Dalam bahasa Inggris ada istilah teacher (guru), tutor (guru privat yang datang ke rumah), instructor (pelatih), lecture (dosen), trainer (pemandu) (Abuddin Nata, Filsafat.. 2005: 113). Jadi pendidik adalah tenaga kependidikan yang bertanggung jawab dalam menyeleng- garakan kependidikan.

Para ahli kependidikan memberikan pengertian pendidik dengan bervariasi, di antaranya; menurut Ahmad D. Marimba yang dikutip Hasbullah, pendidik adalah orang yang memikul pertanggungan jawab untuk mendidik. (Hasbullah, 2003; 16). Pendidik juga dapat diartikan dengan individu yang mempu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan. (Jalaluddin, 2002:122). Moh. Fadhil al-Djamali, sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis bahwa pendidik adalah orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. (Ramayulis, 2004: 85). Sedangkan menurut al-Aziz yang juga dikutip Ramayulis, pendidik adalah orang yang bertanggung jawab dalam menginternalisasikan nilai-nilai religius dan berupaya menciptakan individu yang memiliki pola pikir ilmiah dan pribadi yang sempurna.(Ibid) Individu yang mampu itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, sehat jasmani dan rohani, mampu berdiri sendiri dan menanggung resiko dari segala perbuatannya. Justru itu, pertama dan utama sekali yang dituntut dari seorang pendidik adalah kesediaan dan kerelaannya untuk menerima tanggung jawab sebagai pendidik Dari pendapat di atas dapat disimpulkan pendidik itu adalah orang dewasa yang bertanggung jawab, tidak hanya untuk kecerdasan otak saja tetapi juga berupaya menginternalisasikan nilai-nilai agama dan berkepribadian baik.

Dalam pendidikan Islam, pendidik adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain.(Ibid;86). Menurut Ahmad Tafsir, sebagaimana yang dikutip Abuddin Nata, bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di Barat, yaitu siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam orang yang paling bertanggung jawab dalam mendidik adalah orang tua (ayah-ibu) anak didik. (Abuddin Nata, Filsafat… 2005: 114). Tanggungjawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal, pertama, karena kodrat, karena orang tua:ditakdirkan bertanggung jawab mendidik anaknya ,kedua, karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Menurut Ramayulis, orang tua bertanggung jawab dalam mendidik dalam lingkungan keluarga, sedangkan di lembaga pendidikan yang bertanggung jawab dalam mendidik adalah guru, dosen atau kiayi (Ramayulis, 2004:86). Akan tetapi menurut al-Qur'an yang menjadi pendidik secara garis besar ada empat, pertama adalah Allah SWT., kedua Rasulullah SAW, ketiga kedua orang tua dan keempat orang lain (guru) (Abuddin Nata, Filsafat 2005: 119). Dari keterangan di atas dapat kita ambil pengertian bahwa pendidik itu tidak hanya orang dewasa saja, tetapi Allah SWT dan Rasulullah SAW juga sebagai pendidik.

Profesi pendidik adalah mendidik. Istilah mendidik berbeda dengan mengajar. Mengajar dapat diartikan sebagai usaha guru untuk menyampaikan dan menanamkan pengetahuan kepada siswa/ anak didik. Sedangkan mendidik merupakan memelihara dan memberi latihan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Mendidik juga dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya baik secara jasmani maupun rohani.( Sardiman, 2004: 52-53). Dari ungkapan di atas apat dianalisis bahwa mengajar lebih cendrong kepada transfer of knowledge. Kebanyakan guru dan juga orang tua wali sudah merasa puas kalau para anak didik mendapatkan nilai baik pada hasil ulangannya. Jadi yang penting dalam hal ini siswa dituntut mengetahui pengetahuan yang telah diajarkan oleh gurunya. Yang penting adalah kecerdasan otaknya, bagaimana dengan perilaku dan sikap mental anak didik jarang mendapatkan perhatian secara serius. Cara evaluasi yang dilakukan oleh guru juga hanya melihat bagaimana hasil pekerjaan ujian, ulangan atau tugas yang diberikannya. Ini semua mendukung suatu pengertian bahwa mengajar hanya terbatas pada soal kognitif dan paling-paling ditambah dengan keterampilan dan jarang yang sampai pada unsur afektif. Itulah sebabnya banyak siswa dan bahkan mahasiswa yang kurang baik akhlaknya, sehingga tak malu mereka menendang dan mengeroyok gurunya.

Mendidik merupakan sebagai upaya pembinaan pribadi, sikap mental dan akhlak anak didik. Dibandingkan dengan pengertian mengajar, maka pengertian mendidik lebih mendasar. Mendidik tidak hanya sekedar transfer of knowledge tetapi juga transfer of values. Mendidik lebih komprehensif, yakni usaha membina diri anak didik secara utuh, baik ranah kognitif, psikomotorik maupun afektif, agar tumbuh sebagai manusia-manusia yang berkepribadian.

Keutamaan Pendidik

Dalam ajaran Islam derajat pendidik sangatlah dihargai kedudukannya. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S al-Mujadalah: 11, artinya:

" Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Sabda RasulullahSAW., artinya:

"Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari al-Qur'an dan mengajarkannya". (H.R. Bukhari)

Sabda Rasulullah SAW, artinya:

"Tinta para ulama lebih tinggi nilainya dari pada darah para shuhada'", (H.R. Abu Daud dan Turmizi).

Allah SWT dan Rasulullah SAW sangat menghargai kedudukan pendidik. Kedudukan pendidik lebih tinggi dari manusia biasa dan bahkan lebih tinggi dari para shuhada', karena guru bisa membuat orang menjadi pintar dan bisa membuat orng menjadi dekat kepada Tuhan. Tanpa guru orang bisa sesat, sehingga dalam ajaran tarekat guru itu suatu kewajiban. Orang yang belajar tarekat tanpa guru (mursyid), berarti gurunya adalah setan. Itulah imam al-Ghazali meletakkan posisi yang sangat penting kepada pendidik (guru).(Ramayulis, 2004: 87).

Sebahagian besar ahli pendidikan masih menganggap, guru salah satu unsur yang paling utama dalam proses pendidikan. Guru adalah sentral dalam proses pendidikan ( Imam Tholkhan, 2004: 218). Para ulama menjelaskan, bahwa guru adalah bapak spritual atau bapak rohani bagi seorang murid (Abuddin Nata, Filsafat… 2005: 121). Berbeda halnya dengan di Barat, seperti guru besar yang mengajar di universitas-universitas di Eropa pada abad pertengahan, pada waktu itu para guru besar terpaksa disumpah setia pada dekan fakultas dan patuh kepada setiap peraturan yang dibuat oleh universitas, dilarang mengambil cuti dan para mahasiswa diwajibkan memberikan laporan kalau guru besarnya itu berhalangan hadir (Ibid).

Tugas dan Tanggung Jawab Pendidik

Tugas seorang pendidik dari satu sisi sangat mulia, karenapendidik merupakan "warasat al-Anbiya" yang mengemban tugas rahmat lil 'alamin, yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum-hukum Allah, guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Kemudian ini dikem-bangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh dan bermoral tinggi. (Ramayulis, 2004: 88). Pada sisi lain tugas dan tanggung jawab pendidik sangat berat. Menurut Asnawir, tugas dan tanggung jawab pendidik (guru) meliputi: 1) tugas dan tanggung jawab dengan anak didik, 2) tugas dan tanggung jawab dengan guru lain, 3) tugas dan tanggung jawab dengan atasn dan 4) tugas dan tanggung jawab dengan orang tua murid atau dengan masyarakat. (Asnawir, 2003: 116) Apalagi dalam kontek pendidikan Islam, dimana semua aspek kependidikan Islam terkait dengan nilai-nilai, memandang pendidik (guru) bukan saja pada penguasaan material pengetahuan saja, tetapi juga pada investasi nilai-nilai moral dan spritual yang diembannya untuk ditransfor-masikan kearah kepembentukan kepribadian anak didik. (Imam Tholkhan,.2004; 219). Dengan demikian guru merupakn ujung tombak keberhasilan anak didik.

Kode Etik (Syarat-syarat) Pendidik

Persyaratan seorang pendidik menurut Mohammad Athiyah al-Abrasy yang dikemukakan oleh Abuddin Nata secara garis besar terbagi dua. Pertama, persyaratan yang berkaitan dengan kepribadiannya dan yang kedua, berkaitan dengan keahlian akademik. (Abuddin Nata, Filsafat…, 2005: 129). Yang berkaitan dengan kepribadiannya 1) Seorang guru harus memiliki sifat zuhud, yaitu tidak mengutamakan untuk mendapat materi dalam tugasnya, melainkan karena mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. 2) Seorang guru harus memiliki jiwa yang bersih dari sifat dan akhlak yang buruk. Bersih tubuhnya, jauh dari dosa dan kesalahan, bersih jiwanya, terhindar dari dosa besr, pamer, dengki, permusuhan, dan sifat-sifat lainnya yang tercela menurut agama Islam. 3) Seorang guru harus ikhlas dalam menjalankan tugasnya. 4) Seorang guru harus pemaaf terhadap muridnya. 5) Seorang guru harus dapat menempatkan dirinya sebagai seorang bapak sebelum ia menjadi seorang guru. Yang berkaitan dengan keahlian akademik 1) Seorang guru harus mengetahui bakat, tabiat dan watak murid-muridnya. 2) Seorang guru harus menguasai bidang studi yang akan diajarkannya.

Pada masa Khilafah Fatimiyah (909-1171 M) didirikan Universitas Al-Azhar dan Darul Ulum di Mesir yang mana pada waktu itu syarat untuk menjadi seorang guru secara umum dapat digolongkan kedalam 2 (dua) syarat: Pertama syarat Fisik: 1) Bentuk badannya bagus. 2) Manis muka (selalu berseri-seri) 3) Lebar dahinya. 4) Bermuka bersih. Kedua syarat Psikis. 1) Berakal sehat. 2) hatinya beradab. 3) Tajam pemahamannya. 4) Adil terhadap siswa 5). Bersifat perwira. 6) Sabar dan tidak mudah marah. 7) Bila berbicara menggambarkan keluasan ilmunya. 8) Perkataannya jelas, mudah dipahami. 9) Dapat memilih perkataan yang baik dan mulia. 10) Menjauhi perbuatan yang tidak terpuji. (Abuddin Nata, Sejarah…, 2004: 143-144).

Menurut al-Kanani (W. 733 H) yang dikutip oleh Ramayulis, secara garis besar syarat seorang guru terbagi pada tiga. Pertama, yang berkenaan dengan dirinya. Kedua, yang berkenaan dengan pelajaran. Ketiga, yang berkenaan dengan muridnya. (Ramayulis, 2004: 89)

Syarat-syarat guru yang berkenaan dengan dengan dirinya: 1) Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatannya. 2) Hendaknya guru memelihara kemuliaan ilmu. 3) Hendaknya guru bersifat zuhud. 4) Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise atau kebanggaan atas orang lain. 5) Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara' dan menjauhi situasi yang bisa mendatangkan fitnah. 6) Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam. 7) Guru hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunatkan oleh agama. 8) Guru hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk. 9) Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat. 10) Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan ketrampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.

Syarat-syarat guru yang berkenaan dengan pelajaran: 1) Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, guru hendaknya bersuci dari hadas dan kotoran serta mengenakan pakaian yang baik. 2) Ketika keluar dari rumah, hendaknya guru selalu berdo'a agar tidaak sesat dan menyehatkan dan berzikir kepada Allah SWT. 3) Hendaknya guru mengambil tempat yang dapat terlihat oleh murid. 4). Sebelum mulai mengajar, guru hendaknya membaca sebagian dari ayat al-Qur'an. 5) Guru hendaknya mengajarkan bidang studi sesuai dengan hirarkhi nilai kemuliaan dan kepentingannya yaitu tafsir al-Qur'an, kemudian Hadis, ushuluddin dan seterus-nya. 6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya agar tidak terlalu keras, hingga membisingkan ruangan. 7) Hendaknya guru menjaga ketertiban majelis dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu. 8) Guru hendaknya menegur murid-murid yang tidak menjaga sopan santun dalam kelas. 9) Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran dan menjawab pertanyaan. 10) Terhadap murid baru, guru hendaknya bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya menyatu dengan murid yang lain. 11) Guru hendaknya menutup setiap akhir kegiatan belajar mengajar dengan kata-kata wallahu a'lam (Allah yang Maha Tahu) yang menunjukkan keikhlasan kepada Allah SWT. 12) Guru hendaknya tidak mengasuh bidang studi yang tidak dikuasainya.

Syarat-syarat guru yang berkenaan dengan muridnya; 1) Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharapkan ridha Allah. 2) Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar. 3) Guru hendaknya mencintai muridnya seperti ia mencintai dirinya sendiri. 4) Guru hendaknya memotivasi murid untuk menuntut ilmu seluas mungkin. 5) Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar muridnya dapat memahami pelajaran. 6) Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya. 7) Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya. 8) Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan murid, baik dengan kedudukan ataupun hartanya. 9) Guru hendaknya terus memamntau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya.

Dari beberapa syarat guru yang diungkapkan oleh para pakar Islam di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat menjadi guru itu secara umum terbagi pada tiga bagian; Pertama, syarat dari segi pribadinya, kedua, syarat dari segi akademiknya dan ketiga,syarat yang berhubungan dengan muridnya. Dari syarat-syarat di atas ternyata untuk menjadi guru itu memang berat syaratnya, sehingga dapat menghasilkan murid yang berkualitas. Kita perhatikan di duania pendidikan sekarang ini, lembaga pendidikan kurang memperhatikan persyaratan seorang guru tersebut, sehingga banyak guru hanya berkualitas di bidang ilmu saja, sedangkan akhlaknya kurang dan lebih mengutamakan material. Ada guru yang menanyakan besar honornya, kalau horonya kecil dia tidak mau mengajar dan kalau honornya besar baru dia mau mengajar dan bahkan ada guru yang mengaitkan nilai dengan material. Barangkali inilah yang merusak mutu pendidikan.

Guru yang Profesional

Profesionalisme guru merupakan kunci pokok kelancaran dan kesuksesan proses pembelajaran di sekolah, karena guru yang profesional bisa menciptakan situasi aktif peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Guru yang profesional diyakini mampu mengantarkan peserta didik dalam pembelajaran untuk menemukan, mengelola dan memadukan perolehannya dan memecahkan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan nilai maupun ketrampilan hidupnya. Guru yang profesional diyakini juga mampu memungkinkan anak didik berfikir, bersikap dan bertindak kreatif.

Cukup banyak pendapat tentang karakteristik guru yang profesional. Guru yang profesional memiliki karakteristik sebagai berikut; 1) komitmen terhadap profesionalitas yang melekat pada dirinya, sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja (produk), dan sikap continous improvement (improvisasi berkelanjutan). 2) Menguasai dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsi ilmu dalam kehidupan, mampu menjelaskan dimensi teoretis dan praktisnya. Dengan kata lain, mampu melakukan transformasi, internalisasi dan implementasi ilmu kepada anak didik. 3) Mendidik dan menyiapkan anak didik yang memiliki kemampuan berkreasi, mengatur dan memelihara hasil kreasinya tidak menimbulkan malapetaka bagi diri, masyarakat dan lingkungannya. 4) Mampu menjadikan dirinya sebagai model dan pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didik. 5) Mampu bertanggung jawab dalam membangun peradaban di masa depan. (Imam Tholkhan, 2004: 222-223). Di samping itu karakteristik guru yang profesional, yaitu guru yang selain menguasai bidang ilmu yang akan diajarkannya, juga menguasai cara mengajarkannya secara efektif dan efisien dan berakhlak mulia. (Moehtar Buchori, 1994: 30)

Apabila profesionalisme guru dikaitkan dengan akuntabilitas publik, profesi guru bukanlah hal yang ringan, melainkan sesuatu yang mengharuskan pelayanan di tingkat kualifikasi profesional yang lebih memadai. Secara sederhana kualifikasi profesional kependidikan guru dapat dijelaskan; Pertama, kapabilitas personal (person capability). Artinya, guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehingga mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Kedua, guru sebagai inovator, yang berarti memiliki komitmenterhadap upaya perubahan dan reformasi. Ketiga, guru sebagai developer yang berarti ia harus memiliki visi keguruan yang mantap dan jauh kedepan (the future thinking) dalam menjawab tantangan-tantangan zaman yang dihadapi oleh sektor pendidikan sebagai sebuah sistem. (Imam Tholkhan, 2004: 224).

Bila dianalisis tentang profesionalisme guru, maka seorang guru di samping menguasai bidang ilmu yang akan diajarkannya, dia juga menguasai ilmu-ilmu keguruan, seperti didaktik, metodik, paedagogik, ilmu jiwa dan ilmu-ilmu mendidik lainnya. Sementara ilmu-ilmu tersebut hanya dijumpai pada sekolah atau perguruan tinggi yang mencetak calon-calon guru, seperti IKIP, STKIP, Fakultas Tarbiyah pada IAIN atau UIN dan Jurusan Tarbiyah pada STAIN. Apabila diperhatikan secara seksama, Fakultas Tarbiyah tidak mencetak guru tafsir, guru hadis, guru fiqh, guru SKI dan aqidah akhlak. Sedangkan di madrasah dan pesantren dibutuhkan guru-guru tersebut, maka menurut penulis perlu dicarikan solusinya agar guru yang mengajar di madrasah dan pesantren betul-betul profesional. Dalam hal ini penulis menawarkan, bagi fakultas/jurusan non-Tarbiyah kalau ungin jadi guru yang sesuai dengan bidang studinya ia harus mengambil Akta IV, atau sejenisnya.

Peserta Didik

Pengertian Peserta Didik

Peserta didik menurut UU RI Nomor 2 tahun 1989 dan no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Ps. 1 ayat 4, adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dalam pengertian umum, peserta didik/ anak didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan, sedang dalam arti sempit anak didik ialah anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik. (Hasbullah, 1999: 23) Oleh karena itu, peserta didik memiliki beberapa karakteristik, diantaranya: 1) Belum memiliki pribadi dewasa susila, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 2) Masih menyempurnakan aspek tertentu dari kedewasaannya, sehingga masih menjadi tanggung jawab pendidik. 3) Sebagai manusia memiliki sifat-sifat dasar yang sedang ia kembangkan secara terpadu, menyangkut seperti kebutuhan biologis, rohani, sosial, intelegensi, emosi, kemampuan berbicara, perbedaan individual dan sebagainya.( Siti Meichati, 1976: 26)

Istilah peserta didik dalam undang-undang sisdiknas tahun 1989 dan 2003 masih tetap, tidak ada perubahan dan pengertianya juga tidak ada perubahan seperti yang diunghkapkan dia atas, namun para ahli dalam mengungkapkannya terdapat perbedaan. Ada yang memakai istilah peserta didik dan ada yang memakai istilah anak didik. Pada prinsipnya pengertiannya sama, hanya saja istilah peserta didik sifatnya agak umum dari anak didik.

Potensi Peserta Didik

Potensi anak didik menurut Munawar Khalil sebagaimana yang dikutip oleh Ramayulis, sebagai berikut:

Hidayah Wujudiayah, yaitu potensi manusia yang berujud insting atau naluri yang melekat dan langsung pada saat manusia dilahirkan di muka bumi ini.

Hidayah Hissyah yaitu potensi Allah yang diberikan kepada manusia dalam bentuk kemampuan indrawi sebagai penyempurna hidayah pertama.

Hidayah Aqliyah yaitu potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas. Dengan potensi akal ini manusia mampu berfikir dan berkreasi menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan kepadanya untuk fungsi kekhalifahannya.

Hidayah Diniyah yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan aturan perbuatan yang tertulis dalam al-Qur'an dan Sunnah.

Hidayah Taufiqiyah yaitu hidayah sifatnya khusus. Sekalipun agama telah di turunkan untuk keselamatan manusia, tetapi banyak manusia yang tidak menggunakan akal dalam kendali agama. Untuk itu agama menuntut agar manusia selalu diberi petunjuk yang lurus berupa hidayah dan taufiq agar manusia selalu berada dalam keridhaan Allah SWT. (Ramayulis, 2004:102)

Dilihat dari apa yang diungkapkan oleh Munawar Khalil di atas, itu merupakan potensi yang positif. Di samping itu ada pula potensi negatif yang merupakan kelemahan manusia. Di antara potensi negatif manusia adalah pertama, potensi untuk terjerumus dalam godaan hawa nafsu dan syetan. Kedua, banyak masalah yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, khususnya menyangkut diri, masa depan, serta hal-hal lain yang menyangkut manusia.( Ibid: 103). Untuk mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh peserta didik, maka diperlukan bantuan orang lain, yaitu melalui pendidikan.

Kebutuhan Peserta Didik

Pemenuhan kebutuhan peserta didik, disamping bertujuan untuk memberikan materi kegiatan setepat mungkin, juga materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan, biasanya menjadi lebih menarik. Oleh karena itu seorang pendidik harus memperhatikan kebutuhan peserta didik. Adapun yang menjadi kebutuhan peserta didik menurut Sardiman, adalah kebutuhan jasmani, kebutuhan sosial dan kebutuhan intelektual. (Sardiman, 2004: 113-114)

Kebutuhan Jasmaniah di antaranya kebutuhan kesehatan, makan, minum, tidur, pakaian dan sebagainya.

Kebutuhan sosial di antaranya keinginan untuk saling bergaul sesama peserta didik, guru dan orang yang berbeda jenis kelamin, suku bangsa, agama dan lain sebagainya.

Kebutuhan intelektual di antaranya keinginan untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang beragam. Mungkin ada yang berminat belajar ekonomi, sejarah, tafsir, biologi, fiqh dan sebagainya. Oleh karena itu seorang pendidik harus dapat menciptakan program yang dapat menyalurkan minat masing-masing peserta didik.

Dimensi Peserta Didik yang Akan Dikembangkan

Menurut Zakiah Daradjat yang dikutip oleh Ramayulis, bahwa manusia mempunyai tujuh dimensi yang bisa dikembangkan melalui pendidikan. Ketujuh dimensi tersebut adalah dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan dan sosial kemasyarakatan. (Ramayulis, 2004: 107).

Dimensi Fisik (Jasmani).

Mendidik jasmani dalam Islam memiliki dua tujuan sekaligus, pertama, membina tubuh manusia sehingga mencapai pertumbuhan secara sempurna, kedua, mengembangkan energi potensial yang dimiliki manusia berlandaskan fisik, sesuai dengan perkembangan fisik manusia

Dimensi Akal

Al-Isfahami membagi akal pada dua dimensi, sebagaimana yang diungkap oleh Ramayulis yaitu:

  1. Aql al- Mathbu', yaitu akal yang merupakan pancaran dari Allah sebagai fitrah ilahi.
  2. Aql al-Masmu', yaitu akal yang mempunyai kemampuan menerima yang dapat dikembangkan oleh manusia. (Ramayulis, 2004: 110).
Kemampuan akal sangat terbatas, oleh karena itu akal memerlukan bantuan al-qalb. Dalam dunia pendidikan kemampuan akal dikenal dengan istilah kognitif. Kognitif sebagai salah satu peranan psikologis yang berpusat di otak. Mendidik akal, berarti mengaktualkan potensi dasar akal yang dibawa sejak lahir.

Dimensi Keberagamaan

Manusia adalah makhluk yang berketuhanan atau disebut juga dengan homoreligius. Dalam diri manusia terdapat kebutuhan yang bersifat universal, berupa keinginan untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Oleh karena itu, tujuan (ultimate goal) pendidikan Islam, yaitu muttaqin. Tujuan ini akan tercapai bila manusia menjalankan fungsinya sebagai abdullah dan khalifah sekaligus.

4. Dimensi Akhlak

Salah satu dimensi manusia yang sangat diutamakan dalam pendidikan Islam adalah akhlak. Pendidikan agama berkaitan erat dengan pendidikan akhlak. Salah satu tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pembinaan akhlak al-karimah.

5. Dimensi Rohani (kejiwaan)

Dimensi kejiwaan merupakan suatu dimensi yang sangat penting, dan memiliki pengaruh dalam mengendalikan keadaan manusia agar dapat hidup sehat, tentram dan bahagia. Penciptaan manusia mengalami kesempurnaan setelah Allah meniupkan sebagian ruh ciptaan-Nya.

6. Dimensi Seni (keindahan).

Seni adalah ekspresi roh dan daya manusia yang mengandung dan mengungkapkan keindahan. Seni merupakan salah satu potensi rohani, maka nilai seni dapat diungkapkan oleh seseorang sesuai dengan kecenderungannya, atau oleh sekelompok masyarakat sesuai dengan budayanya, tanpa adanya batasan yang ketat kecuali yang digariskan Allah.

Dimensi Sosial

Seorang manusia adalah mahkluk individual dan secara bersamaan adalah mahkluk sosial. Keserasian antar individu dan masyarakat tidak mempunyai kontradiksi antara tujuan sosial dan individu. Dalam Islam tanggung jawab tidak terbatas pada perorangan, tetapi juga sosial sekaligus. Pendidikan sosial ini melibatkan bimbingan terhadap tingkah laku sosial, ekonomi, politik dan sebagainya dalam rangka aqidah Islam yang betul dan ajaran-ajaran serta hukum-hukum Islam yang dapat meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah SWT.

from:FIRDAUS DT. ST. MAMAD



 

 

PERAN GURU DALAM PEMBELAJARAN

  Peran Guru dalam Proses Pendidikan  

Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :

  1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
  2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
  3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
  4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
  5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :

  1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
  2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
  3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).

Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).

Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.

Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :

  1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
  2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
  3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
  4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
  5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
  6. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
  7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :

  1. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
  2. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
  3. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
  4. model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh mpara peserta didik; dan
  5. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :

  1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
  2. seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
  3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu mambentuk menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
  4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan bagi membuat suatu hal yang baik; dan
  5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.

Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.

Categories: kurikulum dan pembelajaran Tag:artikel, berita, KTSP, makalah, opini, pembelajaran, profesi, umum   Guru Di Garda Terdepan Pendidikan Sesuai dengan judulnya, “guru” merupakan subyek yang menjadi fokus bahasan ini, karena siapapun sependapat bahwa guru merupakan unsur utama dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya di tingkat insitusional dan instruksional. Tanpa guru, pendidikan hanya akan menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan program pada akhirnya akan ditentukan oleh kinerja pihak yang berada di garis terdepan yaitu guru. “No teacher no education, no education no economic and social development” demikian prinsip dasar yang diterapkan dalam pembangunan pendidikan di Vietnam berdasarkan amanat Bapak bangsanya yaitu Ho Chi Minh. Guru menjadi titik sentral dan awal dari semua pembangunan pendidikan. Di Indonesia guru masih belum mendapatkan posisi yang seharusnya dalam kebijakan dan program-program pendidikan. Saatnya kini membuat kebijakan dengan paradigma baru yaitu membangun pendidikan dengan memulainya dari subyek “guru”. Tanpa itu semua dikhawatirkan mutu pendidikan tidak sampai pada cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengembangan sumber daya manusia.

Dalam kenyataan, guru belum memperoleh haknya untuk dapat mengajar secara profesional dan efektif, Hal itu tercermin dari kondisi saat ini yang mencakup jumlah yang kurang sehingga harus bekerja melebihi lingkup tugasnya, mutu yang belum sesuai dengan tuntutan, distribusi yang kurang merata, kesejahteraan yang amat tidak menunjang, dan manajemen yang tidak kondusif. Semua itu merupakan cerminan adanya pelanggaran hak azasi guru. Hak azasi guru proteksi dari pemerintah dan masyarakat melalui perundang-undangan yang mengatur pendidikan antara lain Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, dan Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen harus segera diimplementasikan pada tatanan operasional dan manajerial mulai di tingkat nasional, regional, institusional, sampai tingkat instruksional.

Peran serta guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan, sekurang-kurangnya dapat dilihat dari empat dimensi yaitu guru sebagai pribadi, guru sebagai unsur keluarga, guru sebagai unsur pendidikan, dan guru sebagai unsur masyarakat.

Guru sebagai pribadi Kinerja peran guru dalam kaitan dengan mutu pendidikan harus dimulai dengan dirinya sendiri. Sebagai pribadi, guru merupakan perwujudan diri dengan seluruh keunikan karakteristik yang sesuai dengan posisinya sebagai pemangku profesi keguruan. Kepribadian merupakan landasan utama bagi perwujudan diri sebagai guru yang efektif baik dalam melaksanakan tugas profesionalnya di lingkungan pendidikan dan di lingkungan kehidupan lainnya. Hal ini mengandung makna bahwa seorang guru harus mampu mewujudkan pribadi yang efektif untuk dapat melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai guru. Untuk itu, ia harus mengenal dirinya sendiri dan mampu mengembangkannya ke arah terwujudnya pribadi yang sehat dan paripurna (fully functioning person).

Peran guru di keluarga Dalam kaitan dengan keluarga, guru merupakan unsur keluarga sebagai pengelola (suami atau isteri), sebagai anak, dan sebagai pendidik dalam keluarga. Hal ini mengandung makna bahwa guru sebagai unsur keluarga berperan untuk membangun keluarga yang kokoh sehingga menjadi fundasi bagi kinerjanya dalam melaksanakan fungsi guru sebagai unsur pendidikan. Untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh perlu ditopang antara lain oleh: landasan keagamaan yang kokoh, penyesuaian pernikahan yang sehat, suasana hubungan inter dan antar keluarga yang harmonis, kesejahteraan ekonomi yang memadai, dan pola-pola pendidikan keluarga yang efektif.

Peran guru di sekolah Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan di tingkat operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial.. Sejalan dengan tugas utamanya sebagai pendidik di sekolah, guru melakukan tugas-tugas kinerja pendidikan dalam bimbingan, pengajaran, dan latihan. Semua kegiatan itu sangat terkait dengan upaya pengembangan para peserta didik melalui keteladanan, penciptaan lingkungan pendidikan yang kondusif, membimbing, mengajar, dan melatih peserta didik. Dengan perkembangan dan tuntutan yang berkembang dewasa ini, peran-peran guru mengalami perluasan yaitu sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih (coaches), guru memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sebagai latihan untuk mencapai hasil pembelajaran optimal.. Sebagai konselor, guru menciptakan satu situasi interaksi di mana peserta didik melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dengan memperhatikan kondisi setiap peserta didik dan membantunya ke arah perkembangan optimal. Sebagai manajer pembelajaran, guru mengelola keseluruhan kegiatan pembelajaran dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar melalui interaksinya dengan peserta didik. Sebagai pemimpin, guru menjadi seseorang yang menggerakkan peserta didik dan orang lain untuk mewujudkan perilaku pembelajaran yang efektif.. Sebagai pembelajar, guru secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya. Sebagai pengarang, guru secara kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugasnya.

Peran guru di masyarakat Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara keseluruhan, guru merupakan unsur strategis sebagai anggota, agen, dan pendidik masyarakat. Sebagai anggota masyarakat guru berperan sebagai teladan bagi bagi masyarakat di sekitarnya baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan keluarganya. Sebagai agen masyarakat, guru berperan sebagai mediator (penengah) antara masyarakat dengan dunia pendidikan khususnya di sekolah. Dalam kaitan ini, guru akan membawa dan mengembangkan berbagai upaya pendidikan di sekolah ke dalam kehidupan di masyarakat, dan juga membawa kehidupan di masyarakat ke sekolah. Selanjutnya sebagai pendidik masyarakat, bersama unsur masyarakat lainnya guru berperan mengembangkan berbagai upaya pendidikan yang dapat menunjang pencapaian hasil pendidikan yang bermutu

PENGEMBANGAN KOMPETENSI SDM KEPENDIDIKAN

 

Sertifikasi Guru: Oase di Tengah Rendahnya Mutu Pendidikan

 



           Beberapa waktu yang lalu, serempak di semua stasiun televisi menayangkan sebuah parade akbar Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Sebuah event nasional yang sudah jarang kita temui di layar kaca kita yang biasanya hanya didominasi tayangan sinetron dan entertainment. Indonesia Bisa! Sebuah tema menarik diusung dalam perhelatan akbar yang dihadiri langsung oleh Presiden beserta jajaran pejabat pemerintah.
          Seabad yang lalu tepatnya tanggal 20 Mei tahun 1908 tonggak Kebangkitan Nasional berdiri ditandai dengan lahirnya sebuah organisasi yang bernama Boedi Oetomo. Mungkin terbesit dalam hati kita sebuah pertanyaan, apa hubungan antara sertifikasi guru dengan momen Kebangkitan Nasional? Jika kita menengok sejenak sejarah Kebangkitan Nasional kita akan menemukan sebuah fakta bahwa founding fathers bangsa ini adalah para intelektual muda yang memiliki kualitas pendidikan yang mumpuni. Selain itu mereka juga memiliki rasa kepedulian terhadap kondisi bangsanya. Dan tentunya para intelektual muda ini merupakan produk yang lahir dari sebuah proses pendidikan yang berkualitas. Sebut saja dr. Wahidin Sudirohusodo yang merupakan alumni Sekolah Dokter Jawa (STOVIA).
          Tolok ukur kebangkitan suatu bangsa seringkali ditandai dengan tingginya kualitas pendidikan. Jepang merupakan salah satu negara yang mengawali kemajuan peradabannya dengan meningkatkan mutu pendidikan. Konon, setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia II, Kaisar Jepang bertanya kepada salah satu penasehatnya. Dia tidak bertanya tentang berapa jumlah infrastruktur yang masih bisa digunakan atau jumlah pasukan yang selamat. Namun dia justru bertanya, berapakah jumlah guru yang masih hidup? Dan Jepang tidak mungkin bisa menjadi macan Asia bahkan menjadi bangsa yang disegani dunia internasional saat ini jika tidak memberikan keistimewaan terhadap masalah pendidikan.
          Dari sepenggal kisah tersebut kita dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu pilar penting dalam setiap kebangkitan suatu bangsa. Peningkatan mutu pendidikan dapat dilakukan dengan menyinergikan seluruh potensi yang ada. Namun hal ini tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Karena pendidikan yang baik merupakan sebuah proses panjang dan tentunya membutuhkan banyak pengorbanan, baik berupa materi, tenaga dan pikiran.
         Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Pertama, pendidikan berkualitas merupakan hasil dari sebuah sistem pendidikan yang bermutu. Kedua, peningkatan mutu pendidik (baca:guru) memiliki korelasi kuat dengan peningkatan mutu pendidikan. Sebuah sistem pendidikan yang baik tidak mungkin berhasil mencapai tujuan pendidikan jika pendidiknya tidak berkualitas. Pendidik merupakan ujung tombak dalam upaya untuk meningkatkan kecerdasan bangsa.
          Beberapa waktu yang lalu sebuah data diungkapkan oleh Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Fasli Djalal, sebagaimana dilansir sebuah surat kabar nasional menyatakan bahwa hampir setengah dari sekitar 2,6 juta guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Sebuah fakta yang harus kita cermati bersama dan perlu kita benahi jika kita masih bercita-cita untuk memiliki mutu pendidikan yang baik.
        Tiga tahun yang lalu, tepatnya tanggal 30 Desember 2005, Presiden dengan persetujuan DPR memutusan dan menetapkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lahirnya UUGD ini jelas membawa angin segar bagi para pendidik yang ada di republik ini. UUGD ini merupakan salah satu kebijakan untuk intervensi langsung guna meningkatkan kualitas kompetensi guru melalui kebijakan keharusan bagi guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D-IV, dan memiliki sertifikat profesi. Dengan sertifikat profesi ini pula guru berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar satu bulan gaji pokok guru. Di samping UUGD juga menetapkan berbagai tunjangan yang berhak diterima guru sebagai upaya peningkatan kesejahteraan finansial guru yang selama ini termajinalkan. Kebijakan dalam UUGD ini pada intinya adalah meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatkan kesejahteraan mereka.
         Dalam UUGD ditentukan bahwa seorang pendidik diharuskan untuk memiliki beberapa kompetensi. Pertama, pendidik wajib memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau program diploma empat (D-IV) yang sesuai dengan tugasnya sebagai guru untuk guru dan S-2 untuk dosen. Kedua, pendidik diharuskan memiliki kompetensi profesi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.
         Lahirnya UUGD tentunya menunjukkan sebuah sikap dari pemerintah untuk mengangkat harkat dan martabat guru dalam posisi yang layak dan terhormat. Dalam pasal 14 ayat (1), misalnya, dinyatakan bahwa setiap guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Yang dimaksud dengan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dijelaskan di dalam pasal 15 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi. Sehingga, ke depannya seorang guru profesional berhak mendapatkan tambahan penghasilan yang jumlahnya sangat menggiurkan untuk ukuran guru di Indonesia pada umumnya.
          Sertifikasi guru memberi kesempatan bagi guru untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan sejahtera. Dalam pasal 16, misalnya, ditetapkan bahwa (1) Pemerintah memberikan tunjangan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat; (2) Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. Itu artinya, guru yang belum memiliki sertifikat pendidik jangan bermimpi untuk mendapatkan tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok.
          Namun tidak semua guru dapat mengikuti uji sertifikasi. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi supaya guru mendapat kesempatan untuk mengikuti uji sertifikasi. Guru yang dapat diuji sertifikasi ialah guru yang memenuhi kualifikasi akademik sebagaimana diatur dalam PP dan UU; dalam hal ini PP No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan UU Guru.Untuk menjadi guru SD (atau MI) misalnya. Pasal 29 ayat (2) PP SNP secara eksplisit menyebutkan pendidik (guru) pada SD/MI, atau bentuk lain yang sederajat memiliki: a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), b) latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan c) sertifikat profesi guru untuk SD/MI. Implikasinya ialah, untuk mendapatkan sertifikasi pendidik atau dapat diuji sertifikasi maka seorang guru SD setidak-tidaknya harus berpendidikan D-IV atau S1.
          Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) ditanggapi secara beragam oleh banyak kalangan. Ada kalangan yang mendukung UU ini, namun di sisi lain ada juga yang mempertanyakan efektifitas UU ini jika diterapkan secara langsung di lapangan.
        Pemerintah merupakan salah satu pihak yang mendukung diselengarakannya program sertifikasi guru. Alasannya karena program ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas kompetensi guru melalui kebijakan keharusan bagi guru memiliki kualifikasi Strata 1 atau D-IV, dan memiliki sertifikat profesi. Untuk merealisasikan hal ini pemerintah telah menyusun Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang sertifikasi bagu bagi guru dalam jabatan. Hal lain yang mendasari pemerintah untuk mendukung program sertifikasi guru adalah ingin menjadikan guru sebagai profesi yang sejajar dengan profesi lain layaknya tenaga profesional. Karena guru merupakan agen pembelajaran yang memiliki andil langsung dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
          Di sisi lain ada juga pihak yang kontra dengan diadakannya program sertifikasi guru. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Habe Arifin, S.Pd dalam website unesa 26/09/07 bahwa telah terjadi penyesatan dalam program sertifikasi. Pertama, sertifikasi guru saat ini telah kehilangan tujuan. Awalnya program sertifikasi guru diadakan untuk meningkatkan mutu guru yang imbasnya dapat meningkatkan mutu pendidikan nasional. Namun saat ini tujuannya telah melenceng yakni sertifikasi hanya untuk meningkatkan kesejahteraan. Sehingga dilapangan terjadi praktek penghalalan segala cara yang dilakukan oleh beberapa oknum guru supaya lulus dalam uji sertifikasi. Kedua, sertifikasi guru telah merampas kemerdekaan guru untuk dapat diakui sebagai guru. Ketiga sertifikasi guru dianggap menafikan keberadaan LPTK yang selama ini diakui sebagai lembaga yang berperan dalam mencetak guru.
         Paparan mengenai sertifikasi guru dan polemik yang menyertainya menyiratkan sebuah harapan akan lahirnya pendidikan bermutu di republik ini. Polemik yang ada menunjukkan adanya kepedulian dari masyarakat untuk mengkritisi beberapa penyelewengan yang terjadi. Namun sejauh ini keberhasilan proses pendidikan ditentukan oleh kualitas dan profesionalitas dari pendidik (baca:guru) itu sendiri. Sehingga kedepannya diharapkan bangsa ini memiliki guru-guru yang profesional dan memiliki komitmen untuk mengabdikan dirinya guna meningkatkan kualitas intelektual generasi selanjutnya. Dan hal ini dapat terwujud jika guru-guru mau mengoptimalkan segala potensi yang dimiliki dan senantiasa mengabdi tanpa pamrih. Sungguh sebuah oase yang menyejukkan di sebuah negeri yang ingin memaknai seabad Kebangkitan Nasionalnya. Dan yakinlah, bahwa harapan itu masih ada!*



*Penulis: Ula Lutfiyah M.
Wartawan Tabloid Gema Unesa


 

STANDAR ISI DAN STANDAR KOMPETENSI KELULUSAN

          Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.

          Standar kompetensi lulusan meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran.

          Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan.

          Kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

          Standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

          Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.

Standar kompetensi lulusan pada satuan pendidikan menengah kejuruan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, ahklak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya

     
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0601/02/humaniora/2330338.htm


Standar Isi Pendidikan

Oleh UTOMO DANANJAYA

Namun masukan yang terhimpun dalam uji publik itu lebih menekankan pengembangan
potensi diri siswa pada aspek nonakademis. Adapun pengembangan aspek kecerdasan
akademis malah tidak dipersoalkan.

(Djaali, Kompas, 24 Desember 2005)

Ungkapan kekecewaan di atas dikemukakan oleh Dr Djaali, salah seorang anggota
Badan Standar Nasional Pendidikan, mengomentari hasil uji publik Standar Isi
Pendidikan. Adapun peserta uji publik adalah unsur-unsur dewan pendidikan
provinsi, kabupaten/kota, lembaga- lembaga penyelenggara pendidikan, satuan
pendidikan, dan kalangan guru yang malah mengusulkan tambahan pelajaran agama.

Masukan yang dihimpun dari uji publik akan ditindaklanjuti dengan menyinkronkan
muatan antarmata pelajaran demi menghindari tumpang tindih sekaligus meringankan
beban belajar. Dalam laporan Kompas itu juga disebutkan, draf Standar Isi
Pendidikan segera memasuki finalisasi.

Dari uraian di atas kita bisa memaklumi bahwa yang dimaksud isi adalah muatan
materi mata pelajaran. Dalam Kurikulum 1994, isi atau muatan mata pelajaran
termuat dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Kurikulum 1994.
Menyusun standar isi maksudnya menyusun muatan materi mata pelajaran. Standar
Isi Pendidikan akan disosialisasikan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan.
Apakah hasilnya seperti GBPP, nantilah kita tunggu sosialisasinya.

Namun, dari beberapa komentar yang disampaikan para pelaksana dan penyusun
Standar Isi Pendidikan, terkesan kuat bahwa upaya mengurangi beban belajar
adalah dengan mengatur isi atau materi pelajaran. Oleh karena itu, ketika
masukan yang disampaikan justru akan menambah jam pelajaran, anggota Badan
Standar Nasional Pendidikan merasa kecewa.

Kecenderungan sangat memerhatikan isi pelajaran adalah tradisi lama pendidikan
nasional kita yang menganggap bahwa pendidikan adalah menumpahkan
(sebanyak-banyaknya) ilmu pengetahuan kepada otak siswa. Sampai-sampai istilah
kurikulum diartikan oleh masyarakat umum sebagai mata pelajaran dan isi
pelajaran saja.

Beban kurikulum terlalu berat maksudnya adalah terlalu banyak mata pelajaran,
dan masing-masing mata pelajaran terlalu banyak isi atau muatan atau materi
pelajarannya. Oleh karena itu, dalam menyusun standar isi dan sekaligus
mengurangi beban belajar, maka yang diutak- atik adalah isi atau materi
pelajaran.

"Jika tahapan itu sudah dilewati, maka Kurikulum Berbasis Kompetensi alias KBK
segera diterapkan secara nasional," kata Mungin Eddy Wibowo, pelaksana penyusun
Standar Isi Pendidikan, sebagaimana dikutip Kompas edisi Sabtu, 24 Desember
2005.

Prioritas Badan Standar Nasional Pendidikan menangani ujian nasional dan isi
pendidikan seolah membenarkan pandangan sederhana pendapat umum. Bahwa, ganti
menteri ganti kurikulum; ganti isi pendidikan, dan ganti buku pelajaran. Ilmu
pendidikan seolah mati terkunci oleh standar isi dan ujian nasional.

Padahal, persoalan mendasar pendidikan nasional adalah praktik kelas dan arus
murid (Beeby, 1975). Praktik kelas bukan hanya apa yang diajarkan dan bagaimana
mengajarkannya, tetapi juga aspek pandangan filosofis terhadap anak, sebagai
manusia sebaik-baiknya ciptaan. Dan, kemuliaannya tidak boleh direndahkan atas
nama pendidikan (Freire). Pandangan terhadap masa depan yang selalu berubah, tak
teramalkan, sehingga ilmu pengetahuan masa sekarang sebagai standar isi
pengajaran jangan-jangan malah menyesatkan anak didik karena pengetahuannya
telah kedaluwarsa.

Bertentangan dengan KBK

Gagasan menyempurnakan Kurikulum 1994 dilakukan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Depdiknas dengan mendalami GBPP Kurikulum 1994.
Hasilnya dipetakan dalam buku Potret Kurikulum 1994. Adapun yang dipetakan
adalah 12 mata pelajaran SD, 15 mata pelajaran SMP, dan 20 mata pelajaran SMU.

Secara garis besar hasilnya menunjukkan ada kelompok mata pelajaran berbasis
materi dan kelompok mata pelajaran berbasis kemampuan. Hanya mata pelajaran
bahasa (Indonesia dan Inggris) yang masuk kelompok berbasis kemampuan, sedangkan
mata pelajaran lainnya berbasis materi.

Temuan ini merekomendasikan agar "Penyempurnaan Kurikulum 1994 dilakukan karena
adanya perubahan fundamental dalam kehidupan masyarakat. Perubahan fundamental
itu tidak dapat dilakukan dengan melipatgandakan cara-cara lama dan paradigma
lama, tetapi harus dengan cara baru dan wawasan baru. Perubahan kurikulum
dilakukan dengan mengidentifikasi basic competencies."

Dengan adanya basic competencies, materi pengajaran dapat dikembangkan sesuai
dengan kemampuan siswa di masing-masing daerah [Pasal 46 Ayat (2) Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional]. Selain itu, masing-masing daerah dapat
mengembangkan materi pelajaran sesuai dengan kondisi lokal.

Mengingat kemampuan siswa dan tenaga pengajar di berbagai daerah bervariasi,
maka perlu diperkenalkan materi pelajaran yang berdiferensiasi bukan pada basis
kompetensinya. Basis kompetensi tercantun dalam tujuan pendidikan nasional dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Jadi, isi mata pelajaran tidak bisa
distandardisasi (?)

Membandingkan kegiatan uji publik Standar Isi Pendidikan dengan konsep perubahan
fundamental Kurikulum Berbasis Kompetensi, dapat kita simpulkan bahwa kegiatan
Badan Standar Nasional Pendidikan secara konsepsional ideologis diametral
bertentangan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Tampaknya peringatan Prof HAR Tilaar, tokoh pendidikan dari Universitas Negeri
Jakarta (UNJ), bahwa masalah pendidikan harus ditangani dengan memahami dasar
ilmu pengetahuan pedagogi kuat. Bahwa fungsi pendidikan nasional untuk
mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat, dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan tujuan pendidikan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang ... (ada sembilan butir) adalah
amanat undang-undang. Bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan.. [Pasal 4 Ayat (1) UU Sistem
Pendidikan Nasional] harus selalu menjadi acuan.

UTOMO DANANJAYA Direktur Institute for Education Reform (IER), Universitas
Paramadina

 

STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN

          Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:

        penilaian hasil belajar oleh pendidik;

        penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan

        penilaian hasil belajar oleh Pemerintah.

1. Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian ini digunakan untuk:

        menilai pencapaian kompetensi peserta didik;

        bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar; dan

        memperbaiki proses pembelajaran.

2. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui:

a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta

b. ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

3. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi diukur melalui ulangan, penugasan, dan/atau bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik materi yang dinilai

4. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran estetika   dilakukan melalui pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan ekspresi psikomotorik peserta didik.

5. Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan  dilakukan melalui:

a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan

b. ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

6. Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah BSNP menerbitkan panduan penilaian untuk:

a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;

b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;

c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;

d. kelompok mata pelajaran estetika; dan

e. kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga, dan kesehatan.

PENILAIAN HASIL BELAJAR OLEH SATUAN PENDIDIKAN

  1. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan bertujuan menilai pencapaian standar kompetensi lulusan untuk semua mata pelajaran.
  1. Penilaian hasil belajar untuk semua mata pelajaran pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan  merupakan penilaian akhir untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
  2. Penilaian akhir mempertimbangkan hasil penilaian peserta didik oleh pendidik
  3. Penilaian hasil belajar untuk semua mata pelajaran pada kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui ujian sekolah/madrasah untuk menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.
  4. Untuk dapat mengikuti ujian sekolah/madrasah, peserta didik harus mendapatkan nilai yang sama atau lebih besar dari nilai batas ambang kompetensi yang dirumuskan oleh BSNP, pada kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, serta kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan.
PENILAIAN HASIL BELAJAR OLEH PEMERINTAH

1.Penilaian ini bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk ujian nasional.

  1. Ujian nasional dilakukan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel.
  2. Ujian nasional diadakan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran.
  3. Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
    1. pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan;
    2. dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya;
    3. penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan;
    4. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
5. Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.

  1. Setiap peserta didik wajib mengikuti satu kali ujian nasional tanpa dipungut biaya.
  2. Peserta didik pendidikan informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP.
  3. Peserta ujian nasional memperoleh surat keterangan hasil ujian nasional yang diterbitkan oleh satuan pendidikan penyelenggara Ujian Nasional.
 

 

                                                                                                      

 

 

STANDAR SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

PERATURAN MENDIKNAS RI

NOMOR 24 TAHUN 2007

 

STANDAR SARANA DAN PRASARANASMA

A. Satuan Pendidikan

1. Satu SMA/MA memiliki minimum 3

rombongan belajar dan maksimum 27

rombongan belajar.

2. Satu SMA/MA dengan tiga rombongan

belajar melayani maksimum 6000 jiwa.

Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000

jiwa dapat dilakukan penambahan

rombongan belajar di sekolah yang telah

ada atau pembangunan SMA/MA baru.

 

B. Lahan

1. Memenuhi ketentuan rasio minimum luas lahan terhadap peserta didik.

2. Untuk satuan pendidikan yang memiliki rombongan belajar dengan

banyak peserta didik kurang dari kapasitas maksimum kelas, lahan juga

memenuhi ketentuan luas minimum.

3. Luas lahan adalah luas lahan yang dapat digunakan secara efektif untuk

membangun prasarana sekolah berupa bangunan gedung dan tempat

bermain/berolahraga.

4. Lahan terhindar dari potensi bahaya yang mengancam kesehatan dan

keselamatan jiwa, serta memiliki akses untuk penyelamatan dalam

keadaan darurat.

5. Kemiringan lahan rata-rata kurang dari 15%, tidak berada dalam garis

sempadan sungai dan jalur kereta api.

6. Lahan terhindar dari gangguan-gangguan: (a) Pencemaran air; (b)

Kebisingan; dan (c) Pencemaran Udara.

7. Lahan sesuai dengan peruntukan lokasi dan mendapat izin pemanfaatan

tanah dari Pemerintah Daerah setempat.

8. Lahan memiliki status hak atas tanah, dan/atau memiliki izin

pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku untuk jangka waktu minimum 20

tahun.

 

 

C. Bangunan Gedung

 

1. Memenuhi ketentuan rasio minimum luas lantai terhadap peserta

didik;

2. Untuk satuan pendidikan yang memiliki rombongan belajar

dengan banyak peserta didik kurang dari kapasitas maksimum

kelas, lantai bangunan juga memenuhi ketentuan luas minimum;

3. Memenuhi ketentuan tata bangunan: (a) koefisien dasar bangunan

maksimum 30 %; (b) koefisien lantai bangunan dan ketinggian

maksimum bangunan gedung yangditetapkan dalam Peraturan

Daerah; dan (c) jarak bebas bangunan gedung yang meliputi garis

sempadan bangunan gedungdengan as jalan, tepi sungai, tepi

pantai, jalan kereta api, dan/atau jaringantegangan tinggi, jarak

antara bangunan gedung dengan batas-batas persil, danjarak

antara as jalan dan pagar halaman yang ditetapkan dalam

Peraturan Daerah.

4. Memenuhi persyaratan keselamatan: (a) Memiliki struktur yang

stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebananmaksimum

dalam mendukung beban muatan hidup dan beban muatan mati,

serta untuk daerah/zona tertentu kemampuan untuk menahan

gempa dankekuatan alam lainnya; dan (b) Dilengkapi sistem

proteksi pasif dan/atau proteksi aktif untuk mencegah

danmenanggulangi bahaya kebakaran dan petir.

5. Memenuhi persyaratan kesehatan: (a) Mempunyai fasilitas secukupnya

untuk ventilasi udara dan pencahayaan yang memadai; (b) Memiliki

sanitasi di dalam dan di luar bangunan gedung untuk

memenuhikebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan/atau air

limbah, kotoran dan tempat sampah, serta penyaluran air hujan; dan

(c) Bahan bangunan yang aman bagi kesehatan pengguna bangunan

gedung dantidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

6. Menyediakan fasilitas dan aksesibilitas yang mudah, nyaman, dan

aman termasuk bagi penyandang cacat;

7. Memenuhi persyaratan kenyamanan; (a) Bangunan gedung mampu

meredam getaran dan kebisingan yang mengganggu kegiatan

pembelajaran; (b) Setiap ruangan memiliki temperatur dan

kelembaban yang tidak melebihi kondisi di luar ruangan; dan (c)

setiap ruangan dilengkapi dengan lampu penerangan.

8. Bangunan gedung bertingkat memenuhi persyaratan; (a) maksimum

terdiri dari tiga lantai; (b) Dilengkapi tangga yang

mempertimbangkan kemudahan, keamanan, keselamatan, dan

kesehatan pengguna.

9. Dilengkapi sistem keamanan; (a) Peringatan bahaya bagi pengguna,

pintu keluar darurat, dan jalur evakuasi jika terjadi bencana

kebakaran dan/atau bencana lain; (b) Akses evakuasi yang dapat

dicapai dengan mudah dan dilengkapi penunjukarah yang jelas.

10. Dilengkapi intstalasi listrik dengan daya minimum 1300 watt.

11. Pembangunan gedung atau ruang baru harus dirancang, dilaksanakan,

dan diawasi secara profesional.

12. Kualitas bangunan gedung minimum permanen kelas B, sesuai dengan

PP No. 19 Tahun 2005 Pasal 45, dan mengacu pada Standar PU.

13. Bangunan gedung sekolah baru dapat bertahan minimum 20 tahun.

14. Pemeliharaan bangunan gedung sekolah: (a) Pemeliharaan ringan,

meliputi pengecatan ulang, perbaikan sebagian daun jendela/pintu,

penutup lantai, penutup atap, plafon, instalasi air dan listrik,

dilakukan minimum sekali dalam 5 tahun; (b) pemeliharaan berat,

meliputi penggantian rangka atap, rangka plafon, rangka kayu, kusen,

dan semua penutup atap, dilakukan minimumsekali dalam 20 tahun.

15. Bangunan gedung dilengkapi izin mendirikan bangunan dan izin

penggunaansesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

D. Kelengkapan Prasarana dan Sarana

 

Sebuah SMA/MA sekurang-kurangnya memiliki prasarana sebagai

berikut:

 

 

1. Ruang kelas

2. Ruang perpustakaan

3. Ruang laboratorium biologi

4. Ruang laboratorium fisika

5. Ruang laboratorium kimia

6. Ruang lab. Komputer

7. Ruang laboratorium bahasa

8. Ruang pimpinan

9. Ruang guru

10. Ruang tata usaha

11. Tempat ibadah

12. Ruang konseling

13. Ruang UKS

14. Ruang organisasi kesiswaaan

15. Jamban

16. Gudang

17. Ruang sirkulasi

18. Tempat bermain/olahraga

 

Prasarana harus memenuhi persyaratan

minimum.

 

 

 

20/08/2008
Tips bagi Guru dalam Pemilihan Media Pembelajaran

Oleh: Sudirman Siahaan

Model pembelajaran yang tertua adalah model pembelajaran yang dilaksanakan secara tatap muka oleh seseorang dengan pengetahuan tertentu kepada orang lain atau sekelompok orang. Model pembelajaran yang demikian ini masih tetap berlangsung dan dapat dijumpai hingga kini. Misalnya: di dunia persilatan atau juga di lingkungan pendidikan agama di mana seorang guru mendidik para peserta didiknya secara langsung bertatap muka. Dalam hal ini, seorang guru dapat saja membelajarkan para peserta didiknya dengan cara menyampaikan pengetahuan secara verbal terlebih dahulu dan kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Dalam model pembelajaran yang demikian ini, guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.

Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.

Salah satu model pembelajaran adalah guru tetap berperan sebagai sumber belajar utama tetapi masih ada peran lain yang dapat didelegasikan guru pada media pembelajaran. Hal ini berarti, ada pembagian peran antara guru dan media pembelajaran. Sejauh mana pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran.

Di sisi lain, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. Alternatif lainnya adalah adanya pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana.

Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Berikut ini disajikan beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan.

1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum

Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Kemudian, dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.

Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.

Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

2. Keterjangkauan dalam Pembiayaan

Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau tidak ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya jika harus dikontrakkan kepada orang lain. Namun sebelum dikontrakkan kepada orang lain, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah media pembelajaran yang dibutuhkan tersebut tidak tersedia di pasaran. Seandaianya tersedia di pasaran, apakah tidak lebih cepat, mudah dan juga murah kalau langsung membelinya daripada mengkontrakkan pembuatannya?

Pilihan lain adalah apabila kebutuhan media pembelajaran itu masih berjangka panjang sehingga masih memungkinkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pembuatan media yang dikehendaki. Dalam kaitan ini, perlu dipertimbangkan mengenai besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengirimkan guru mengikuti pelatihan pengembangan media pembelajaran yang dikehendaki. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah guru yang akan dikirimkan mengikuti pelatihan tersebut masih mempunyai waktu memadai untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan sekolah. Apakah fasilitas pemanfaatannya sudah tersedia di sekolah? Kalau belum, berapa biaya pengadaan peralatannya dalam jumlah minimal misalnya.

3. Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran

Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).

Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.

4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran

Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.

Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok danmembantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.

5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran

Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya

BIMBINGAN DAN KONSELING

Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah

Agar memudahkan Anda melakukan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, hendaknya perlu diketahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberikan layanan Bimbingan Konseling pada siswa Anda terutama mereka yang mempunyai masalah. Adapun langkah-langkah tersebut meliputi:
a. Identifikasi Masalah
Pada langkah ini yang harus diperhatikan guru adalah mengenal gejala-gejala awal dari suatu masalah yang dihadapi siswa. Maksud dari gejala awal disini adalah apabila siswa menujukkan tingkah laku berbeda atau menyimpang dari biasanya. Untuk mengetahui gejala awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan memperhatikan gejala-gejala yang nampak, kemudian dianalisis dan selanjutnya dievaluasi. Apabila siswa menunjukkan tingkah laku atau hal-hal yang berbeda dari biasanya, maka hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai gejala dari suatu masalah yang sedang dialami siswa. Sebagai contoh, Benin seorang siswa yang mempunyai prestasi belajar yang bagus, untuk semua mata pelajaran ia memperoleh nilai diatas rata-rata kelas. Dia juga disenangi teman-teman maupun guru karena pandai bergaul, tidak sombong, dan baik hati. Sudah dua bulan ini Benin berubah menjadi agak pendiam, prestasi belajarnyapun mulai menurun. Sebagai guru Bimbingan Konseling, ibu Heni mengadakan pertemuan dengan guru untuk mengamati Benin. Dari hasil laporan dan pegamatan yang dilakukan oleh beberapa orang guru, ibu Heni kemudian melakukan evaluai berdasarkan masalah Benin dengan gejala yang nampak. Selanjutnya dapat diperkirakan jenis dan sifat masalah yang dihadapi Benin tersebut. Karena dalam pengamatan terlihat prestasi belajar Benin menurun, maka dapat diperkirakan Benin sedang mengalmi masalah ” kurang menguasai materi pelajaran “. Perkiraan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan langkah selanjutnya yaitu diagnosis.


b. Diagnosis
Pada langkah diagnosis yang dilakukan adalah menetapkan ” masalah ” berdasarkan analisis latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Dalam langkah ini dilakukan kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang melatarbelakangi gejala yang muncul. Pada kasus Benin, dilakukan pengumpulan informasi dari berbagai pihak. Yaitu dari orang tua, teman dekat, guru dan juga Benin sendiri. Dari informasi yang terkumpul, kemudian dilakukan analisis maupun sistesis dan dilanjutkan dengan menelaah keterkaitan informasi latar belakang dengan gejala yang nampak. Dari informasi yang didapat, Benin terlihat menjadi pendiam dan prestasi belajamya menurun. Dari informasi keluarga didapat keterangan bahwa kedua orang tua Benin telah bercerai. Berdasarkan analisis dan sistesis, kemudian diperkirakan jenis dan bentuk masalah yang ada pada diri Benin yaitu karena orang tuanya telah bercerai menyebabkan Benin menjadi pendiam dan prestasi belajarnya menurun, maka Benin sedang mengalami masalah pribadi.


c. Prognosis
Langkah prognosis ini pembimbing menetapkan alternatif tindakan bantuan yang akan diberikan. Selanjutanya melakukan perencanaan mengenai jenis dan bentuk masalah apa yang sedang dihadapi individu. Seperti rumusan kasus Benin, maka diperkirakan Benin menghadapi masalah, rendah diri karena orang tua telah bercerai sehingga merasa kurang mendapat perhatian dari mereka. Dari rumusan jenis dan bentuk masalah yang sedang dihadapi Benin, maka dibuat alternatif tindakan bantuan, seperti memberikan konseling individu yang bertujuan untuk memperbaiki perasaan kurang diperhatikan, dan rendah diri. Dalam hal ini konselor menawarkan alternatif layanan pada orang tua Benin dan juga Benin sendiri untuk diberikan konseling. Penawaran tersebut berhubungan dengan kesediaan individu Benin sebagai orang yang sedang mempunyai masalah (klien). Dalam menetapkan prognosis, pembimbing perlu memperhatikan: 1) pendekatan yang akan diberikan dilakukan secara perorangan atau kelompok 2) siapa yang akan memberikan bantuan, apakah guru, konselor, dokter atau individu lain yang lebih ahli 3) kapan bantuan akan dilaksanakan, atau hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan.


Apabila dalam memberi bimbingan guru mengalami kendala, yaitu tidak bisa diselesaikan karena terlalu sulit atau tidak bisa ditangani oleh pembimbing, maka penanganan kasus tersebut perlu dialihkan penyelesainnya kepada orang yang lebih berwenang, seperti dokter, psikiater atau lembaga lainnya. Layanan pemindahtanganan karena masalahnya tidak mampu diselesaikan oleh pembimbing tersebut dinamakan dengan layanan referal. Pada dasarnya bimbingan merupakan proses memberikan bantuan kepada pihak siswa agar ia sebagai pribadi memiliki pemahaman akan diri sendiri dan sekitarnya, yang selanjutnya dapat mengambil keputusan untuk melangkah maju secara optimal guna menolong diri sendiri dalam menghadapi dan memecahkan masalah, dan siswa atau individu yang mempunyai masalah tersebut menetukan alternatif yang sesuai dengan kemampuannya.

d. Pemberian Bantuan
Setelah guru merencanakan pemberian bantuan, maka dilanjutkan dengan merealisasikan langkah-langkah alternatif bentuk bantuan berdasarakn masalah dan latar belakang yang menjadi penyebanya. Langkah pemberian bantuan ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan dan teknik pemberian bantuan. Pada kasus Benin telah direncanakan pemberian bantuan secara individual. Pada tahap awal diadakan pendekatan secara pribadi, pembimbing mengajak Benin menceritakan masalahnya, mungkin pada awalnya Benin akan sangat sulit menceritakan masalahnya, karena masih memiliki perasaan takut atau tidak percaya terhadap pembimbing. Dalam hal ini pembimbing dituntut kesabarannya untuk bisa membuka hati Benin agar mau menceritakan masalahnya, dan menyakinkan kepada Benin bahwa masalahnya tidak akan diceritakan pada orang lain serta akan dibantu menyelesaikannya. Pemberian bantuan ini dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali pertemuan saja, tetapi perlu waktu yang berulang-ulang dan dengan jadwal dan sifat pertemuan yang tidak terikat, kapan Benin sebagai individu yang mempunyai masalah mempunyai waktu untuk menceritakan masalahnya dan bersedia diberikan bantuan. Oleh sebab itu seorang pembimbing harus dapat menumbuhkan transferensi yang positif dimana klien mau memproyeksikan perasaan ketergantungannya kepada pembimbing (konselor).


e. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Setelah pembimbing dan klien melakukan beberapa kali pertemuan, dan mengumpulkan data dari beberapa individu, maka langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi dapat dilakukan selama proses pemberian bantuan berlangsung sampai pada akhir pemberian bantuan. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, seperti melalui wawancara, angket, observasi diskusi, dokumentasi dan sebagainya. Dalam kasus Benin, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara antara pembimbing dengan Benin sendiri, pembimbing dengan orang tua Benin, teman dekat atau sahabat Benin, dan beberapa orang guru. Observasi juga dilakukan terhadap Benin pada jam istirahat, bagaimana Benin bergaul dengan temannya, bagaimana teman-temannya memperlakukan Benin dan sebagainya. Sedang observasi yang dilakukan baik oleh pembimbing maupun guru, yaitu untuk mengetahui aktivitas Benin dalam menerima pelajaran, sikapnya di dalam kelas saat mengikuti pembelajaran. Pembimbing juga berkunjung kerumah Benin guna mengetahui kondisi rumah Benin sekaligus mewawancarai orang tuanya mengenai sikap Benin di rumah Dari beberapa data yang telah tekumpul, kemudian pembimbing mengadakan evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya pemberian bantuan telah dilaksanakan dan bagaimana hasil dari pemberian bantuan tersebut, bagaimana ketepatan pelaksanaan yang telah diberikan. Dari evaluasi tersebut dapat diambil langkah-langkah selanjutnya; apabila pemberian bantuan kurang berhasil, maka pembimbing dapat merubah tindakan atau mengembangkan bantuan kedalam bentuk yang berbeda
Sumber (Peran Guru dalam Proses Bimbingan Konseling) Karya Drs. Munasik, M.Pd Jika ingin membacaseluruhnya tulisan di atas silakan klik


Jenis Layanan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor

 

 

 

1. Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/ madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.

  

2. Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.

  

3. Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.

  

4. Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat.

  

5. Layanan konseling perorangan/bimbingan pribadi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. Dengan adanya bimbingan pribadi ini diharapkan peserta didik merasakan peran seorang guru.

 

6. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.

   

7. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.

  

8. Layanan bimbingan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik

  

9. Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka.

 

BIMBINGAN DAN KONSELING

Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah Langkah-langkah dalam Memberikan Bimbingan Konseling di Sekolah

Agar memudahkan Anda melakukan layanan bimbingan dan konseling di sekolah, hendaknya perlu diketahui langkah-langkah yang harus dilakukan dalam memberikan layanan Bimbingan Konseling pada siswa Anda terutama mereka yang mempunyai masalah. Adapun langkah-langkah tersebut meliputi:
a. Identifikasi Masalah
Pada langkah ini yang harus diperhatikan guru adalah mengenal gejala-gejala awal dari suatu masalah yang dihadapi siswa. Maksud dari gejala awal disini adalah apabila siswa menujukkan tingkah laku berbeda atau menyimpang dari biasanya. Untuk mengetahui gejala awal tidaklah mudah, karena harus dilakukan secara teliti dan hati-hati dengan memperhatikan gejala-gejala yang nampak, kemudian dianalisis dan selanjutnya dievaluasi. Apabila siswa menunjukkan tingkah laku atau hal-hal yang berbeda dari biasanya, maka hal tersebut dapat diidentifikasi sebagai gejala dari suatu masalah yang sedang dialami siswa. Sebagai contoh, Benin seorang siswa yang mempunyai prestasi belajar yang bagus, untuk semua mata pelajaran ia memperoleh nilai diatas rata-rata kelas. Dia juga disenangi teman-teman maupun guru karena pandai bergaul, tidak sombong, dan baik hati. Sudah dua bulan ini Benin berubah menjadi agak pendiam, prestasi belajarnyapun mulai menurun. Sebagai guru Bimbingan Konseling, ibu Heni mengadakan pertemuan dengan guru untuk mengamati Benin. Dari hasil laporan dan pegamatan yang dilakukan oleh beberapa orang guru, ibu Heni kemudian melakukan evaluai berdasarkan masalah Benin dengan gejala yang nampak. Selanjutnya dapat diperkirakan jenis dan sifat masalah yang dihadapi Benin tersebut. Karena dalam pengamatan terlihat prestasi belajar Benin menurun, maka dapat diperkirakan Benin sedang mengalmi masalah ” kurang menguasai materi pelajaran “. Perkiraan tersebut dapat dijadikan sebagai acuan langkah selanjutnya yaitu diagnosis.


b. Diagnosis
Pada langkah diagnosis yang dilakukan adalah menetapkan ” masalah ” berdasarkan analisis latar belakang yang menjadi penyebab timbulnya masalah. Dalam langkah ini dilakukan kegiatan pengumpulan data mengenai berbagai hal yang menjadi latar belakang atau yang melatarbelakangi gejala yang muncul. Pada kasus Benin, dilakukan pengumpulan informasi dari berbagai pihak. Yaitu dari orang tua, teman dekat, guru dan juga Benin sendiri. Dari informasi yang terkumpul, kemudian dilakukan analisis maupun sistesis dan dilanjutkan dengan menelaah keterkaitan informasi latar belakang dengan gejala yang nampak. Dari informasi yang didapat, Benin terlihat menjadi pendiam dan prestasi belajamya menurun. Dari informasi keluarga didapat keterangan bahwa kedua orang tua Benin telah bercerai. Berdasarkan analisis dan sistesis, kemudian diperkirakan jenis dan bentuk masalah yang ada pada diri Benin yaitu karena orang tuanya telah bercerai menyebabkan Benin menjadi pendiam dan prestasi belajarnya menurun, maka Benin sedang mengalami masalah pribadi.


c. Prognosis
Langkah prognosis ini pembimbing menetapkan alternatif tindakan bantuan yang akan diberikan. Selanjutanya melakukan perencanaan mengenai jenis dan bentuk masalah apa yang sedang dihadapi individu. Seperti rumusan kasus Benin, maka diperkirakan Benin menghadapi masalah, rendah diri karena orang tua telah bercerai sehingga merasa kurang mendapat perhatian dari mereka. Dari rumusan jenis dan bentuk masalah yang sedang dihadapi Benin, maka dibuat alternatif tindakan bantuan, seperti memberikan konseling individu yang bertujuan untuk memperbaiki perasaan kurang diperhatikan, dan rendah diri. Dalam hal ini konselor menawarkan alternatif layanan pada orang tua Benin dan juga Benin sendiri untuk diberikan konseling. Penawaran tersebut berhubungan dengan kesediaan individu Benin sebagai orang yang sedang mempunyai masalah (klien). Dalam menetapkan prognosis, pembimbing perlu memperhatikan: 1) pendekatan yang akan diberikan dilakukan secara perorangan atau kelompok 2) siapa yang akan memberikan bantuan, apakah guru, konselor, dokter atau individu lain yang lebih ahli 3) kapan bantuan akan dilaksanakan, atau hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan.


Apabila dalam memberi bimbingan guru mengalami kendala, yaitu tidak bisa diselesaikan karena terlalu sulit atau tidak bisa ditangani oleh pembimbing, maka penanganan kasus tersebut perlu dialihkan penyelesainnya kepada orang yang lebih berwenang, seperti dokter, psikiater atau lembaga lainnya. Layanan pemindahtanganan karena masalahnya tidak mampu diselesaikan oleh pembimbing tersebut dinamakan dengan layanan referal. Pada dasarnya bimbingan merupakan proses memberikan bantuan kepada pihak siswa agar ia sebagai pribadi memiliki pemahaman akan diri sendiri dan sekitarnya, yang selanjutnya dapat mengambil keputusan untuk melangkah maju secara optimal guna menolong diri sendiri dalam menghadapi dan memecahkan masalah, dan siswa atau individu yang mempunyai masalah tersebut menetukan alternatif yang sesuai dengan kemampuannya.

d. Pemberian Bantuan
Setelah guru merencanakan pemberian bantuan, maka dilanjutkan dengan merealisasikan langkah-langkah alternatif bentuk bantuan berdasarakn masalah dan latar belakang yang menjadi penyebanya. Langkah pemberian bantuan ini dilaksanakan dengan berbagai pendekatan dan teknik pemberian bantuan. Pada kasus Benin telah direncanakan pemberian bantuan secara individual. Pada tahap awal diadakan pendekatan secara pribadi, pembimbing mengajak Benin menceritakan masalahnya, mungkin pada awalnya Benin akan sangat sulit menceritakan masalahnya, karena masih memiliki perasaan takut atau tidak percaya terhadap pembimbing. Dalam hal ini pembimbing dituntut kesabarannya untuk bisa membuka hati Benin agar mau menceritakan masalahnya, dan menyakinkan kepada Benin bahwa masalahnya tidak akan diceritakan pada orang lain serta akan dibantu menyelesaikannya. Pemberian bantuan ini dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali pertemuan saja, tetapi perlu waktu yang berulang-ulang dan dengan jadwal dan sifat pertemuan yang tidak terikat, kapan Benin sebagai individu yang mempunyai masalah mempunyai waktu untuk menceritakan masalahnya dan bersedia diberikan bantuan. Oleh sebab itu seorang pembimbing harus dapat menumbuhkan transferensi yang positif dimana klien mau memproyeksikan perasaan ketergantungannya kepada pembimbing (konselor).


e. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Setelah pembimbing dan klien melakukan beberapa kali pertemuan, dan mengumpulkan data dari beberapa individu, maka langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi dan tindak lanjut. Evaluasi dapat dilakukan selama proses pemberian bantuan berlangsung sampai pada akhir pemberian bantuan. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, seperti melalui wawancara, angket, observasi diskusi, dokumentasi dan sebagainya. Dalam kasus Benin, pengumpulan data dilakukan dengan wawancara antara pembimbing dengan Benin sendiri, pembimbing dengan orang tua Benin, teman dekat atau sahabat Benin, dan beberapa orang guru. Observasi juga dilakukan terhadap Benin pada jam istirahat, bagaimana Benin bergaul dengan temannya, bagaimana teman-temannya memperlakukan Benin dan sebagainya. Sedang observasi yang dilakukan baik oleh pembimbing maupun guru, yaitu untuk mengetahui aktivitas Benin dalam menerima pelajaran, sikapnya di dalam kelas saat mengikuti pembelajaran. Pembimbing juga berkunjung kerumah Benin guna mengetahui kondisi rumah Benin sekaligus mewawancarai orang tuanya mengenai sikap Benin di rumah Dari beberapa data yang telah tekumpul, kemudian pembimbing mengadakan evaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana upaya pemberian bantuan telah dilaksanakan dan bagaimana hasil dari pemberian bantuan tersebut, bagaimana ketepatan pelaksanaan yang telah diberikan. Dari evaluasi tersebut dapat diambil langkah-langkah selanjutnya; apabila pemberian bantuan kurang berhasil, maka pembimbing dapat merubah tindakan atau mengembangkan bantuan kedalam bentuk yang berbeda
Sumber (Peran Guru dalam Proses Bimbingan Konseling) Karya Drs. Munasik, M.Pd Jika ingin membacaseluruhnya tulisan di atas silakan klik




Jenis Layanan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor

 

 

 

1. Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/ madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.

  

2. Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.

  

3. Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.

  

4. Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat.

  

5. Layanan konseling perorangan/bimbingan pribadi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya. Dengan adanya bimbingan pribadi ini diharapkan peserta didik merasakan peran seorang guru.

 

6. Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok.

   

7. Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.

  

8. Layanan bimbingan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik

  

9. Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka.

 

STANDAR PROSES PENDIDIKAN

Sistem Pendidikan Nasional

 

Written by Depdiknas   

Tuesday, 24 November 2009

Pelaksanaan pendidikan nasional berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

.: Jalur Pendidikan

Jalur pendidikan terdiri atas: 

  1. pendidikan formal,
  2. nonformal, dan
  3. informal.
Jalur Pendidikan Formal

Jenjang pendidikan formal terdiri atas:

  1. pendidikan dasar,
  2. pendidikan menengah,
  3. dan pendidikan tinggi.
Jenis pendidikan mencakup:

  1. pendidikan umum,
  2. kejuruan,
  3. akademik,
  4. profesi,
  5. vokasi,
  6. keagamaan, dan
  7. khusus.
Pendidikan Dasar

Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar bagi setiap warga negara yang berusia 6 (enam) tahun pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Pendidikan dasar berbentuk: 

  1. Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat; serta
  2. Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Menengah

Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar.

Pendidikan menengah terdiri atas:

  1. pendidikan menengah umum, dan
  2. pendidikan menengah kejuruan.
Pendidikan menengah berbentuk:

  1. Sekolah Menengah Atas (SMA),
  2. Madrasah Aliyah (MA),
  3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
  4. Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Perguruan tinggi dapat berbentuk:

  1. akademi,
  2. politeknik,
  3. sekolah tinggi,
  4. institut, atau
  5. universitas.
Perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Perguruan tinggi dapat menyelenggarakan program akademik, profesi, dan/atau vokasi.

Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

Pendidikan nonformal meliputi: 

  1. pendidikan kecakapan hidup,
  2. pendidikan anak usia dini,
  3. pendidikan kepemudaan,
  4. pendidikan pemberdayaan perempuan,
  5. pendidikan keaksaraan,
  6. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
  7. pendidikan kesetaraan, serta
  8. pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
Satuan pendidikan nonformal terdiri atas:

  1. lembaga kursus,
  2. lembaga pelatihan,
  3. kelompok belajar,
  4. pusat kegiatan belajar masyarakat, dan
  5. majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.
Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan Informal

Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

.: Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:

  1. Taman Kanak-kanak (TK),
  2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:

  1. Kelompok Bermain (KB),
  2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

.: Pendidikan Kedinasan

Pendidikan kedinasan merupakan pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan berfungsi meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam pelaksanaan tugas kedinasan bagi pegawai dan calon pegawai negeri suatu departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen.

Pendidikan kedinasan diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.

.: Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan keagamaan berbentuk:

  1. pendidikan diniyah,
  2. pesantren,
  3. pasraman,
  4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.
.: Pendidikan Jarak Jauh

Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pendidikan jarak jauh berfungsi memberikan layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler.

Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.

 

.: Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus   

Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.

**Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Daftar Istilah

Pendidikan
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan nasional
Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.

Sistem pendidikan nasional
Keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Peserta didik
Anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Jalur pendidikan
Wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan.

Jenjang pendidikan
Tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang dikembangkan.

Jenis pendidikan
Kelompok yang didasarkan pada kekhususan tujuan pendidikan suatu satuan pendidikan.

Satuan pendidikan
Kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan.

Pendidikan formal
Jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Pendidikan nonformal
Jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.

Pendidikan informal
Jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Pendidikan anak usia dini
Suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan jarak jauh
Pendidikan yang peserta didiknya terpisah dari pendidik dan pembelajarannya menggunakan berbagai sumber belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan media lain.

Standar nasional pendidikan
Kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib belajar
Program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Warga Negara
Warga Negara Indonesia baik yang tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Masyarakat
Kelompok Warga Negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.

Pemerintah
Pemerintah Pusat.

Pemerintah Daerah
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota.

Menteri
Menteriyang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional.

 

 

 

Peran Guru sebagai Fasilitator

Posted Sab, 04/10/2008 - 13:47 by akhmadsudrajat

Oleh: Akhmad Sudrajat

Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi), khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan perubahan makna pengajaran yang lebih menekankan pada aktivitas siswa, belakangan ini di Indonesia istilah fasilitator pun mulai diadopsi dalam lingkungan pendidikan formal di sekolah, yakni berkenaan dengan peran guru pada saat melaksanakan interaksi belajar mengajar. Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa sebagai fasilitator, guru berperan memberikan pelayanan untuk memudahkan siswa dalam kegiatan proses pembelajaran.

Peran guru sebagai fasilitator membawa konsekuensi terhadap perubahan pola hubungan guru-siswa, yang semula lebih bersifat “top-down” ke hubungan kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat “top-down”, guru seringkali diposisikan sebagai “atasan” yang cenderung bersifat otoriter, sarat komando, instruksi bergaya birokrat, bahkan pawang, sebagaimana disinyalir oleh Y.B. Mangunwijaya (Sindhunata, 2001). Sementara, siswa lebih diposisikan sebagai “bawahan” yang harus selalu patuh mengikuti instruksi dan segala sesuatu yang dikehendaki oleh guru.

Berbeda dengan pola hubungan “top-down”, hubungan kemitraan antara guru dengan siswa, guru bertindak sebagai pendamping belajar para siswanya dengan suasana belajar yang demokratis dan menyenangkan. Oleh karena itu, agar guru dapat menjalankan perannya sebagai fasilitator seyogyanya guru dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar yang dikembangkan dalam pendidikan kemitraan, yaitu bahwa siswa akan belajar dengan baik apabila:

  1. Siswa secara penuh dapat mengambil bagian dalam setiap aktivitas pembelajaran
  2. Apa yang dipelajari bermanfaat dan praktis (usable).
  3. Siswa mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuan dan keterampilannya dalam waktu yang cukup.
  4. Pembelajaran dapat mempertimbangkan dan disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya dan daya pikir siswa.
  5. Terbina saling pengertian, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa
Di samping itu, guru seyogyanya dapat memperhatikan karakteristik-karakteristik siswa yang akan menentukan keberhasilan belajar siswa, diantaranya:

  1. Setiap siswa memiliki pengalaman dan potensi belajar yang berbeda-beda.
  2. Setiap siswa memiliki tendensi untuk menentukan kehidupannnya sendiri.
  3. Siswa lebih memberikan perhatian pada hal-hal menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannnya.
  4. Apabila diminta menilai kemampuan diri sendiri, biasanya cenderung akan menilai lebih rendah dari kemampuan sebenarnya.
  5. Siswa lebih menyenangi hal-hal yang bersifat kongkrit dan praktis.
  6. Siswa lebih suka menerima saran-saran daripada diceramahi.
  7. Siswa lebih menyukai pemberian penghargaan (reward) dari pada hukuman (punishment).
Selain dapat memenuhi prinsip-prinsip belajar dan memperhatikan karakteristik individual, juga guru dapat memperhatikan asas-asas pembelajaran sebagai berikut:

  1. Kemitraan, siswa tidak dianggap sebagai bawahan melainkan diperlakukan sebagai mitra kerjanya
  2. Pengalaman nyata, materi pembelajaran disesuaikan dengan pengalaman dan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari siswa.
  3. Kebersamaan,pembelajaran dilaksanakan melalui kelompok dan kolaboratif.
  4. Partisipasi, setiap siswa dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas pelaksanaan keputusan tersebut, sekaligus juga bertanggung atas setiap kegiatan belajar yang dilaksanakannya.
  5. Keswadayaan, mendorong tumbuhnya swadaya (self supporting) secara optimal atas setiap aktivitas belajar yang dilaksanakannya.
  6. Manfaat, materi pembelajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan dapat memberikan manfaat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa pada masa sekarang mau pun yang akan datang.
  7. Lokalitas, materi pembelajaran dikemas dalam bentuk yang paling sesuai dengan potensi dan permasalahan di wilayah (lingkungan) tertentu (locally specific), yang mungkin akan berbeda satu tempat dengan tempat lainnya.
Pada bagian lain, Wina Senjaya (2008) mengemukakan bahwa agar guru dapat mengoptimalkan perannya sebagai fasilitator, maka guru perlu memahami hal-hal yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber belajar. Dari ungkapan ini, jelas bahwa untuk mewujudkan dirinya sebagai fasilitator, guru mutlak perlu menyediakan sumber dan media belajar yang cocok dan beragam dalam setiap kegiatan pembelajaran, dan tidak menjadikan dirinya sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para siswanya.

Terkait dengan sikap dan perilaku guru sebagai fasilitator, di bawah ini dikemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan guru untuk dapat menjadi seorang fasilitator yang sukses:

  1. Mendengarkan dan tidak mendominasi. Karena siswa merupakan pelaku utama dalam pembelajaran, maka sebagai fasilitator guru harus memberi kesempatan agar siswa dapat aktif. Upaya pengalihan peran dari fasilitator kepada siswa bisa dilakukan sedikit demi sedikit.
  2. Bersikap sabar. Aspek utama pembelajaran adalah proses belajar yang dilakukan oleh siswa itu sendiri. Jika guru kurang sabar melihat proses yang kurang lancar lalu mengambil alih proses itu, maka hal ini sama dengan guru telah merampas kesempatan belajar siswa.
  3. Menghargai dan rendah hati. Guru berupaya menghargai siswa dengan menunjukan minat yang sungguh-sungguh pada pengetahuan dan pengalaman mereka
  4. Mau belajar. Seorang guru tidak akan dapat bekerja sama dengan siswa apabila dia tidak ingin memahami atau belajar tentang mereka.
  5. Bersikap sederajat. Guru perlu mengembangkan sikap kesederajatan agar bisa diterima sebagai teman atau mitra kerja oleh siswanya
  6. Bersikap akrab dan melebur. Hubungan dengan siswa sebaiknya dilakukan dalam suasana akrab, santai, bersifat dari hati ke hati (interpersonal realtionship), sehingga siswa tidak merasa kaku dan sungkan dalam berhubungan dengan guru.
  7. Tidak berusaha menceramahi. Siswa memiliki pengalaman, pendirian, dan keyakinan tersendiri. Oleh karena itu, guru tidak perlu menunjukkan diri sebagai orang yang serba tahu, tetapi berusaha untuk saling berbagai pengalaman dengan siswanya, sehingga diperoleh pemahaman yang kaya diantara keduanya.
  8. Berwibawa. Meskipun pembelajaran harus berlangsung dalam suasana yang akrab dan santai, seorang fasilitator sebaiknya tetap dapat menunjukan kesungguhan di dalam bekerja dengan siswanya, sehingga siswa akan tetap menghargainya.
  9. Tidak memihak dan mengkritik. Di tengah kelompok siswa seringkali terjadi pertentangan pendapat. Dalam hal ini, diupayakan guru bersikap netral dan berusaha memfasilitasi komunikasi di antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, untuk mencari kesepakatan dan jalan keluarnya.
  10. Bersikap terbuka. Biasanya siswa akan lebih terbuka apabila telah tumbuh kepercayaan kepada guru yang bersangkutan. Oleh karena itu, guru juga jangan segan untuk berterus terang bila merasa kurang mengetahui sesuatu, agar siswa memahami bahwa semua orang selalu masih perlu belajar
  11. Bersikap positif. Guru mengajak siswa untuk mamahami keadaan dirinya dengan menonjolkan potensi-potensi yang ada, bukan sebaliknya mengeluhkan keburukan-keburukannya. Perlu diingat, potensi terbesar setiap siswa adalah kemauan dari manusianya sendiri untuk merubah keadaan
Sumber:

Sindhunata. 2001. Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman, Yogyakarta : Kanisius

Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Proyek P2MPD. 2000. Fasilitator dalam Pendidikan Kemitraan (Materi IV-4-1). Jakarta.

 

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Manajemen Berbasis Sekolah MBS Merupakan sebuah paradigma pendidikan yang menjadi jawaban atas kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik yang mengakibatkan ketergantungan terhadap keputusan birokrasi, berdampak pada hilangnya kemandirian sekolah, kurang inisiatif dan minimnya kreativitas layanan pendidikan yang diberikan di sekolah

Upaya meningkatkan kualitas sekolah dengan manajemen sekolah yang efektif dengan melibatkan partisipasi berbagai pihak menjadi wacana yang mengarah pada desentralisasi pendidikan. Konsepsi Bank Dunia pada 1999, menyatakan bahwa bentuk alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan yang ditandai dengan adanya otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat. Otonomi yang diberikan pada sekolah, memberi keleluasaan sekolah dalam mengelola sumber daya dengan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta tanggap terhadap kebutuhan masyarakat sekitar sekolah. Selain itu juga masyarakat dituntut berperan aktif untuk memahami, membantu, memantau dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Karena itulah sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik kepada orangtua, masyarakat, maupun pemerintah. Dan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan alternatif dalam mewujudkan pengelolaan sekolah yang berkualitas.

MBS merupakan sebuah paradigma pendidikan yang menjadi jawaban atas kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik yang mengakibatkan ketergantungan terhadap keputusan birokrasi, berdampak pada hilangnya kemandirian sekolah, kurang inisiatif dan minimnya kreativitas layanan pendidikan yang diberikan sekolah. Poin penting yang seharusnya dioptimalkan adalah peran serta masyarakat yang paling dekat bersentuhan dan menggunakan “jasa” pendidikan sekolah terutama orang tua siswa untuk ikut mengambil keputusan, monitoring dan mengevaluasi proses-proses pendidikan, beberapa hal ini lah yang menjadi faktor pendorong dilaksanakan nya MBS di Indonesia, yang tak jauh berbeda dengan yang ungkapkan oleh Agus Dharma, Staf Administrasi di Pusdiklat Depdiknas (2003), pada 1988 Negeri Paman Sam, American Association of School administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi .
MBS yang menjadi terobosan baru dalam reformasi pendidikan Indonesia, memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan menciptakan keberimbangan yang pas antara anggaran yang tersedia dan prioritas program pembelajaran. Keterlibatan semua pihak dalam pengambilan keputusan akan memacu motivasi kinerja guru. Kinerja guru yang semakin baik menjadi salah satu bagian pendukung meningkatnya prestasi belajar murid, bahkan MBS dipandang sebagai salah satu cara untuk menarik dan mempertahankan guru dan staf yang berkualitas tinggi.

Dibeberapa tempat di Indonesia MBS mulai menunjukkan hasil, meskipun belum cukup mememuaskan berbagai pihak tapi setidaknya dari sisi partisipasi masyarakat terhadapa mendidikkan mulai dirasakan seperti di SDN Sawojajar III Malang, seorang dari orang tua siswa yang memberi bantuan secara langsung kepada guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Pak Warno yang merupakan mantan guru di Jakarta International School mengemukakan bahwa ia melakukan ini dengan suka rela berdasarkan ajakan dari pihak sekolah selain itu Dr. Hanif Noer Syahdu, Sps merupakan salah seorang dari orang tua siswa di SDN IV Sawojajar Malang yang membantu secara langsung pembelajaran di dalam klas. Sebagai seorang dokter, Beliau beberapa kali memberikan penyuluhan kesehatan di sekolah. Materi penyuluhan yang diberikan diantaranya tentang pola hidup sehat, cara menggosok gigi yang benar, bahkan sampai pada pemberian imunisasi. Sekolah-sekolah yang telah melaksanakan program MBS dapat menjadi etalase pendidikan yang memberikan inspirasi bagi perkembangan pendidikan. Peningkatan mutu akan terus terwujud meskipun iramanya beragam, ada yang sangat cepat, ada yang sedang, maupun ada yang lambat. Meskipun demikian setiap langkah ke arah peningkatan mutu pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam upaya untuk secara terus-menerus mengubah paradigma lama pembelajaran ke paradigma baru. http://www.mbs-sd.org/

 

UU TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 20 TAHUN 2003

TENTANG

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

Menimbang :

 

a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

sosial;

 

b. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan

Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

yang diatur dengan undang-undang;

 

c. bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan

kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen

pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan

kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan

pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;

 

d. bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan

amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, c, dan d

perlu membentuk Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.

 

Mengingat :

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

 

 

 

 

 

STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
DAN SERTIFIKASI MANAJEMEN ISO Ahmad Yani, M.Si

 Pemerintah mencanangkan standar nasional pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui program perbaikan berkelanjutan. Upaya yang dilakukan untuk membenahi sekolah sudah dapat diarahkan langsung kepada pemenuhan indikator-indikator yang digali dari standar nasional pendidikan. Pemerintah juga telah memberi arah terhadap tahapan peningkatan kualitas sekolah, yaitu dimulai dari sekolah standar nasional, sekolah kriteria mandiri dan sekolah bertaraf internasional. 

Tampaknya ini sejalan dengan dua prinsip dasar ISO yaitu catat apa yang anda kerjakan dan kerjakan apa yang anda catat serta perbaikan berkelanjutan. Tetapi seringkali kita disibukkan dengan proses audit yang berturutan oleh lembaga audit yang berbeda. Misalnya bulan desember audit manajemen ISO, dilanjutkan bulan januari audit kinerja sekolah dan bulan berikutnya lagi audit monitoring evaluasi.

Tercetus pemikiran seandainya kita dapat membuat suatu standar operasi berdasarkan pemenuhan terhadap 8 standar nasional pendidikan, maka proses audit oleh beberapa lembaga yang berbeda dapat lebih ringan dan tidak membebani pekerjaan administrasi. Lebih jauh lagi apabila ini dilakukan maka kita akan dapat lebih berhemat dalam penggunaan kertas.

Oleh karena itu munculah gagasan untuk kembali mengkaji ulang standar operasi yang ada di buku manual mutu ISO agar dapat lebih sejalan dengan peraturan pemerintah dalam hal ini standar nasional pendidikan.

Buku manual mutu ISO merupakan buku petunjuk mengoperasikan sekolah agar dapat mencapai tujuan seperti yang telah digariskan. Buku ini berfungsi sebagai panduan membuat rencana kerja, pelaksanaan kegiatan, pengawasan pelaksanaan kegiatan dan evaluasi terhadap capaian pelaksanaan kegiatan yang diletakkan dalam rencana besar mewujudkan visi dan misi sekolah.

Agar buku manual mutu dapat menjadi suatu buku yang merupakan resep keberhasilan pencapaian visi dan misi, maka di dalam buku tersebut harus tergambar seluruh proses yang menjadi syarat utama untuk mewujudkan visi dan misi serta keterkaitan antara satu proses dengan proses lainnya. Buku manual mutu juga harus menjadi buku yang mudah dipahami oleh anggota organisasi yang berkepentingan. Untuk dapat menjadi suatu buku yang mudah dipahami maka buku tersebut mesti

·        Terstruktur  dalam arti terbagi-bagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil yang saling berkaitan,

·        sistematis dalam arti memiliki alur dari yang sederhana ke yang lebih rumit, dari yang umum ke yang lebih detail, dari permulaan ke akhir, dan

·        Konsisten dalam penggunaan istilah dan kriteria yang digunakan

 

Standar nasional pendidikan merupakan pemetaan terhadap alur kerja suatu sekolah sehingga dapat menghasilkan lulusan yang memiliki daya saing global. Standar nasional pendidikan terbagi menjadi 8, yaitu standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan dan standar penilaian pendidikan.

      Menurut pertimbangan kami, apabila pembuatan standar operasi pada buku manual mutu ISO melihat standar nasional pendidikan sebagai suatu pemetaan terhadap alur kerja organisasi, maka kita akan dapat melihat proses organisasi secara lebih menyeluruh dan lebih berorientasi kepada pencapaian tujuan pendidikan nasional.Untuk dapat mendalami tentang standar Nasional pendidikan, kami lampirkan paparan singkatnya.

            Demikian gagasan tentang perlunya mensejajarkan atau menyearahkan buku manual mutu dengan standar nasional pendidikan ini kami lontarkan, semoga mendapat tanggapan yang akan memperkaya dan membuka wacana baru mengenai peningkatan mutu sekolah.

 

AKREDITASI SEKOLAH/MADRASAH

 

Sekilas tentang Visitasi dalam Kegiatan Akreditasi Sekolah

 

1. Apa Visitasi Sekolah itu?



Visitasi adalah kunjungan ke sekolah/madrasah yang dilakukan oleh asesor untuk melakukan klarifikasi, verifikasi, dan validasi data serta informasi yang telah disampaikan oleh sekolah/madrasah melalui pengisian instrumen akreditasi

2. Apa prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam Visitasi Akreditasi Sekolah?

Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam Visitasi Akreditasi Sekolah adalah:

  1. Efektif: mampu menjaring informasi yang akurat dan valid sebagai dasar pengambilan keputusan yang tepat bagi semua pihak yang memerlukannya .
  2. Efisien: dibatasi pada hal-hal yang pokok saja, namun cukup memberikan gambaran yang utuh dan terfokus pada substansi yang telah ditetapkan
  3. Objektif: Berdasarkan kenyataan pada sejumlah indikator yang dapat diamati
  4. Mandiri: mendorong sekolah/madrasah melakukan pengisian instrumen akreditasi secara akurat sbg salah satu fungsi pokok manajemen penyelenggaraan sekolah/ madrasah dlm rangka pemberdayaan sekolah/madrasah .
3. Kapan waktu pelaksanaan Visitasi Akreditasi Sekolah?

Visitasi Akreditasi Sekolah dilaksanakan:

  1. Selambat-lambatnya 5 bulan setelah BAP-S/M menerima instrumen akreditasi sekolah/madrasah.
  2. Periode pendaftaran akreditasi dan penjadwalan kegiatan visitasi ditetapkan oleh BAP-S/M, sesuai dengan jumlah sekolah/madrasah yang layak untuk diakreditasi.
  3. Visitasi dilaksanakan antara 2-5 hari kerja.
  4. Perpanjangan waktu visitasi dapat diberikan oleh BAP-S/M, apabila dipandang perlu.
  5. Hasil visitasi harus dilaporkan paling lambat satu minggu setelah penugasan visitasi
4. Siapa petugas Visitasi Akreditasi Sekolah?

Petugas visitasi akreditasi sekolah adalah ASESOR, yakni tenaga profesional yang telah memenuhi persyaratan untuk diangkat dan ditugasi oleh BAN-S/M  atau BAP-S/M untuk melakukan penilaian dan visitasi di sekolah/madrasah sebagai bagian dari proses akreditasi. Jumlah anggota tim asesor disesuaikan dengan kebutuhan dengan jumlah minimal 2 (dua) orang untuk setiap sekolah/madrasah. Asesor diangkat untuk periode tertentu sesuai surat tugas yang dikeluarkan oleh BAP-S/M dan dapat diangkat kembali jika kinerjanya dianggap layak untuk melaksanakan tugas tersebut  Asesor harus memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya secara sungguh-sungguh dengan berpedoman kepada norma-norma pelaksanaan visitasi

5. Bagaimana Ketentuan Pelaksanaan Visitasi Akreditasi Sekolah?

Visitasi Akreditasi Sekolah dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Visitasi dilakukan oleh asesor bersertifikat BAN-S/M atau BAP-S/M
  2. Visitasi dilakukan secara obyektif, bertanggung jawab, dan bebas dari tekanan
  3. Asesor wajib menjunjung tinggi kerahasiaan hasil visitasi
  4. Asesor melaksanakan visitasi sesuai dengan surat tugas yang telah dikeluarkan oleh BAP-S/M.
6. Bagaimana Tata Cara Pelaksanaan Visitasi Akreditasi Sekolah?

Visitasi Akreditasi Sekolah dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut:

a. Persiapan visitasi:

  • BAP-S/M menunjuk dan menugaskan tim asesor
  • Asesor melengkapi perangkat akreditasi dan format-format yang dibutuhkan
  • Asesor mempelajari dan mencermati hasil evaluasi diri yang telah dilakukan oleh sekolah/madrasah
  • Asesor memberikan catatan pada setiap komponen, sehingga memiliki pengetahuan awal tentang kondisi dan kinerja sekolah/madrasah
  • Asesor membuat Surat Pernyataan tentang Pelaksanaan Tugas
Sebelum melaksanakan visitasi, asesor:

  • Mempelajari dan mencermati hasil isian instrumen akreditasi sekolah/madrasah
  • Mencari tahu informasi awal tentang kondisi dan kinerja sekolah/madrasah
  • Mempersiapkan format-format yang akan digunakan dalam visitasi
Format yang diperlukan dalam visitasi :

  • Dokumen/copy instrumen akreditasi sekolah/madrasah
  • Format isian untuk melakukan klarifikasi, verifikasi, dan validasi untuk setiap komponen
  • Format perhitungan/skoring hasil visitasi
  • Format catatan hasil visitasi untuk tiap komponen
  • Format saran dan rekomendasi dari hasil visitasi
b. Verifikasi dan Validasi Data:

  • Asesor melakukan visitasi ke sekolah/ madrasah yang akan diakreditasi.
  • Asesor menemui kepala sekolah/madrasah dan warga sekolah/madrasah untuk menyampaikan tujuan visitasi
  • Asesor membandingkan data instrumen evaluasi diri dengan kondisi nyata sekolah/madrasah melalui pengamatan, observasi kelas, wawancara, dan pencermatan ulang data pendukung.
  • Asesor juga dimungkinkan untuk melakukan pencarian data dan informasi tambahan
  • Kepala sekolah/madrasah membuat Surat Pernyataan tentang Pelaksanaan Visitasi
c. Verifikasi dan Validasi Data:

  • Setelah melakukan verifikasi, tim asesor melakukan pertemuan dengan warga sekolah/madrasah.
  • Pertemuan untuk mengklarifikasi berbagai temuan penting atau ketidaksesuaian yang sangat signifikan antara fakta dengan data evaluasi diri.
  • Pada tahap klarifikasi temuan ini, sekolah/ madrasah memiliki hak jawab untuk mengklarifikasi
  • Klarifikasi ini bukan merupakan langkah kompromi antara tim asesor dengan sekolah/madrasah untuk memperoleh peringkat akreditasi secara tidak benar.
d. Penyusunan Laporan

  • Masing-masing anggota tim asesor menyusun laporan individual yang memuat nilai dan catatan untuk masing-masing komponen
  • Laporan individual dijadikan bahan untuk didiskusikan bersama-sama dengan anggota tim asesor lainnya untuk menyusun laporan tentang pelaksanaan dan hasil visitasi.
  • Dalam diskusi tersebut dibahas berbagai komponen, aspek, dan indikator akreditasi sesuai dengan hasil verifikasi, validasi, dan pendalaman data serta informasi untuk menetapkan laporan akhir dan perumusan rekomendasi
e. Penyerahan Laporan

  • Laporan tim asesor mencakup: hasil penilaian visitasi yang dilengkapi pernyataan kepala sekolah/madrasah tentang pelaksanaan visitasi dan saran-saran pembinaan, pengembangan, dan peningkatan kinerja sekolah/madrasah
  • Laporan tim asesor dilengkapi laporan individu masing-masing asesor.
  • Penyerahan laporan dilakukan sesegera mungkin dengan berita acara serah terima laporan Tim Asesor
7. Bagaimana Tata Krama dalam Pelaksanaan Visitasi Akreditasi Sekolah?

Visitasi Akreditasi Sekolah  dilaksanakan dengan tata krama sebagai berikut

  • Melakukan wawancara dengan suasana yang kondusif.
  • Menghindari kesepakatan atau bargaining dalam arti negatif.
  • Tidak mendebat argumentasi yang disampaikan oleh responden.
  • Tidak menggurui responden.
  • Tida merasa berkedudukan lebih tinggi.
  • Bersahabat dan membantu secara profesional
  • Menghindari suasana menekan.
  • Tidak mengada-ada.
  • Tidak meminta sesuatu di luar keperluan akreditasi.
  • Menyeuaikan diri dengan budaya setempat.
  • Menunjukkan adanya kekompakan tim.
8. Bagaimana Tata Tertib Visitasi Akreditasi Sekolah?

Tata tertib Visitasi Akreditasi Sekolah adalah:

  • Datang tepat waktu sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
  • Menunjukkan surat tugas meskipun tidak diminta.
  • Menyampaikan secara jelas mengenai tujuan, mekanisme, dan jadwal visitasi.
  • Tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun (uang atau barang),
  • Berpakaian rapi dan sopan.
9. Apa Larangan Bagi Asesor?

Dalam melaksanakan visitasi, asesor dilarang:

  • Melakukan intimidasi agar sekolah/ madrasah berkeinginan untuk memberikan sesuatu dalam bentuk apapun.
  • Melakukan perjanjian/kesepakatan yang dapat mengakibatkan hasil visitasi tidak objektif.
  • Menerima sesuatu yang akan mempengaruhi objektivitas pelaksanaan dan hasil visitasi.
  • Membuka kerahasiaan data/informasi kepada fihak lain yang diperoleh dari proses dan hasil visitasi
10. Apa Larangan Bagi Pihak Sekolah?

  • Melakukan kegiatan yang menghambat visitasi.
  • Memanipulasi data dan memberi keterangan yang tidak sesuai dengan kondisi nyata sekolah /madrasah.
  • Memberi apapun kepada asesor yang akan mengurangi objektivitas pelaksanaan dan hasil visitasi.
Sumber:

Bahan Pelatihan Asesor  Akreditasi SMP-MTs Tahun 2009

Catatan:

Tulisan di atas merupakan “update” atas tulisan terdahulu yang mengupas tentang Akreditasi Sekolah

 

STANDAR PEMBIAYAAN PENDIDIKAN

Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa)By admin

Monday, September 08, 2008 13:53:00

Clicks: 1090





Senin, 08 September 2008 13:53 WIB

Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa)

ISU pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan digulirkannya kebijakan anggaran pendidikan 20% mulai tahun anggaran 2009/2010, baik yang harus disediakan dalam kerangka APBN maupun APBD. Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu (school quality funding) masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan. Perdebatan yang ramai dibicarakan oleh para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu (quality assurance). Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.

Dalam analisis satuan biaya pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa per-anak per-tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orang tua dan subsidi yang harus disediakan pemerintah. Hasil penelitian tersebut cukup membantu dalam menjelaskan kemampuan orang tua dan pemerintah sebagai kerangka konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan (BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan tentang pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisisnya. Dalam konteks ini pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.

Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966). Dalam banyak hal, kementerian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah. Karena itu kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan. Padahal jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Rob Greenwald, et al, dalam The Effect of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research (1996), jelas terlihat strategi pembiayaan pendidikan di sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa.

Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per-orang per-tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai production-function studies, dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dengan capaian akademis siswa.

Kesimpulannya cukup mengagetkan, There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance. (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989)

Pengalaman Sukma Bangsa

Ketika memulai sekolah di tahun ajaran 2006, optimisme para pengelola Sekolah Sukma Bangsa (SSB) sebenarnya belumlah tinggi. Input sekolah ini adalah anak-anak korban tsunami, korban konflik, yatim piatu, dan fakir miskin, bahkan dengan kemampuan akademis di bawah rata-rata anak sekolah di luar Aceh. Tetapi dengan visi ingin menciptakan lingkungan belajar yang positif dan kondusif, seluruh manajemen sekolah mencoba menerapkan beberapa strategi dasar pembiayaan sekolah yang mengacu pada penciptaan budaya sekolah yang aman dan nyaman. Beberapa strategi yang dikembangkan SSB mengacu pada visi dan misi sekolah sebagai sarana untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi para siswa. Karena itu, sejak awal SSB memperkenalkan budaya moving-class, perluasan makna guru, dan penciptaan jejaring sehingga memungkinkan sekolah untuk memperoleh kritik sekaligus masukan dari para stakeholders.

Strategi pembiayaan moving class ternyata berimplikasi positif terhadap budaya belajar siswa. Guru diwajibkan berkreasi menciptakan sebanyak mungkin class project activities yang tidak hanya berbasis kebutuhan proses belajar-mengajar di kelas tetapi juga di ruang terbuka seperti koridor dan halaman sekolah, perpustakaan, dan lingkungan sekitar. Ketika makna kelas diperluas menjadi keseluruhan sarana-prasarana yang tersedia baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, kreativitas dan usulan proses pembelajaran tidak jarang muncul dari siswa itu sendiri. Karena itu, baik guru maupun siswa memiliki hak yang sama untuk mengusulkan sebuah proses pembelajaran, pada tahap akhirnya menjadi kewajiban guru untuk membuat proposal pembiayaan aktivitas kelas tersebut.

Perluasan makna guru juga berimplikasi pada kemampuan manajemen sekolah dalam mengidentifikasi sumber daya yang tersedia, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan komunitas sekolah (stakeholders). Di SSB, konsep guru diperluas bukan saja guru di sekolah, bahkan seorang tukang becak, paramedis puskesmas, polisi, satpam, cleaning service, hingga bupati adalah sumber daya guru yang harus diberi kesempatan untuk mengajar di kelas. Kepandaian guru dan murid dalam menentukan guest teacher untuk mata ajar tertentu setiap dua minggu sekali adalah sebuah proses yang mengasyikkan. Lagi-lagi kecermatan, kecerdasan, dan kreativitas guru dengan siswa dalam mengundang guru tamu harus dituangkan dalam sebuah proposal yang jelas berikut pembiayaannya. Pengalaman memaknai perluasan arti guru dengan sendirinya memacu guru itu sendiri untuk pandai membuat proposal dan membaca banyak buku sebagai rujukan proses pembelajaran. Dengan demikian, prinsip self-training seperti yang pernah dijabarkan oleh Thomas Gordon dalam Teacher Effectiveness Training menjadi lebih mudah untuk diterapkan.

Adapun strategi ketiga, yaitu menciptakan jejaring dengan seluruh komunitas sekolah adalah dalam rangka menciptakan kemitraan antara satu sekolah dan yang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), SSB menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar-mengajar. Tujuan dari strategi ini adalah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan.

Sejauh ini beberapa bentuk kegiatan kerja sama luar sekolah yang telah dilakukan SSB meliputi kegiatan tutoring, mentoring, magang (internship), kunjungan lapangan, kemah siswa, serta pengadaan bahan ajar dan suplai pendidikan lainnya yang difasilitasi melalui koperasi sekolah. Perjalanan masih panjang bagi SSB. Tetapi pengalaman membuat perencanaan pembiayaan pembelajaran yang melibatkan seluruh komponen sekolah paling tidak telah membuka mata SSB untuk berkembang menjadi A school thats learn.

Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma

Sumber: Media Indonesia Online
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Mjg4NTU=


SUPERVISI PENDIDIKAN

PENTINGNYA SUPERVISI PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU

Pendidikan adalah usaha sadar yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses pembelajaran di sekolah.

Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Selain itu pengaruh perubahan yang serba cepat mendorong guru-guru untuk terus-menerus belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mobilitas masyarakat.[1]

Masyarakat mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas muda dan membantu  mengembangkan potensinya secara professional. Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal, professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan pendidikan.

Hal tersebut lantaran guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.

  1. Pengertian Supervisi
Konsep supervisi modern dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”. Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, an envirovment). Situasi belajar inilah yang seharusnya diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran.

Konsep supervisi tidak bisa disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi pendidikan dapat dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi), maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( semantik).

1)      Etimologi

Istilah supervisi diambil dalam perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.

2)      Morfologis

Supervisi dapat dijelaskan menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang yang disupervisinya.

3)      Semantik

     Pada hakekatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas (1994) merumuskan supervisi sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian, supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan :

a.       Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar

b.      Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar

Karena aspek utama adalah guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal, 2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982).

Atas dasar uraian diatas, maka pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula “Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.

Supervisi dapat kita artikan sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi diartikan pula pembinaan guru.[1]

 

  1. Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Guru dengan Supervisi
Di abad sekarang ini,  yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital, akses informasi sangat cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang mempunyai sumber daya unggul dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global yang ketat. Termasuk sumber daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya pendidikan yaitu ketenagaan, dana dan sarana dan prasarana.[2]

Guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang professional.

Ada dua metafora untuk menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan guru diumpamakan dengan sumber air. Sumber air itu harus terus menerus bertambah, agar sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus. Bila tidak, maka sumber air itu akan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang lebih menyegarkan kepada peserta didik.

Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus, membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru apalagi bagi peserta didik.

Peningkatan sumber daya guru bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut :

1.      Latar Belakang Kultural

Pendidikan berakar dari budaya arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan belajar-mengajar harus daingkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.

2.      Latar Belakang Filosofis

Suatu system pendidikan yang berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai filosofis pandangan hidup suatu bangsa.

3.      Latar Belakang Psikologis

Secara psikologis supervisi itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri.

4.      Latar Belakang Sosial

Seorang supervisor dalam melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.

5.      Latar Belakang Sosiologis

Secara sosiologis perubahan masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara arif dan bijaksana.

6.      Latar Belakang Pertumbuhan Jabatan

Supervisi bertugas memelihara, merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama dalam pembentukan harkat dan martabat manusia.

 Permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data, fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).

Supandi (1986:252), menyatakan bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan.

1.      Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.

2.      Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya. Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan lain sebagainya.

Kegiatan supervisi pengajaran merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.

Secara umum ada 2 (dua) kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:

1.      Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.

Secara rutin dan terjadwal Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar. Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1 (untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.

2.      Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan guru-guru untuk meningkatkan kinerja.

Kegiatan supervisi ini dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas 5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya administrasi sekolah, meliputi:

a.       Bidang Akademik, mencakup kegiatan:

1)      menyusun program tahunan dan semester,

2)      mengatur jadwal pelajaran,

3)      mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,

4)      menentukan norma kenaikan kelas,

5)      menentukan norma penilaian,

6)      mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,

7)      meningkatkan perbaikan mengajar,

      mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan

9)      mengatur disiplin dan tata tertib kelas.

b.      Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:

1)      mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan siswa baru,

2)      mengelola layanan bimbingan dan konseling,

3)      mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan

4)      mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.

c.       Bidang Personalia, mencakup kegiatan:

1)      mengatur pembagian tugas guru,

2)      mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,

3)      mengatur program kesejahteraan guru,

4)      mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan

5)      mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.

d.      Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:

1)      menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,

2)      mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,

3)      mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan

4)      mempertanggungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

e.       Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:

1)      penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,

2)      layanan perpustakaan dan laboratorium,

3)      penggunaan alat peraga,

4)      kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,

5)      keindahan dan kebersihan kelas, dan

6)      perbaikan kelengkapan kelas.

f.        Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:

1)      kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,

2)      kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,

3)      kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan

4)      kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).

Sedangkan ketika mensupervisi guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya :

a.       Penggunaan program semester

b.      Penggunaan rencana pembelajaran

c.       Penyusunan rencana harian

d.      Program dan pelaksanaan evaluasi

e.       Kumpulan soal

f.        Buku pekerjaan siswa

g.       Buku daftar nilai

h.       Buku analisis hasil evaluasi

i.         Buku program perbaikan dan pengayaan

j.        Buku program Bimbingan dan Konseling

k.      Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler

 

  1. Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnasi.

Guru yang profesional adalah mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional (professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional (teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan (prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.

Guru yang profesional amat berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Guru profesional memiliki pengalaman mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin, tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil, kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan kurikulum.[3]

Dewasa ini banyak guru, dengan berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum pendidikan. Bahkan ada yang mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu tiga perempat jam pelajaran untuk basa-basi bukan apersepsi dan seperempat jam untuk mengajar. Suatu proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan siswa. Guru menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.

Banyak kegiatan belajar mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang menyangkut kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah dan mata pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman. Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit ringkasan materi.

Dapat dilihat daftar pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin. Lebih banyak pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita masih harus “Khusnudhon” bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang siap disantap setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama pemberitaan di koran maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut disesalkan.

Sarana dan prasarana penunjang pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan. Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Peta dunia hanya dipajang di depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh, buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap, alat-alat praktek di laboratorium hanya tersimpan rapi di almari tidak pernah dipergunakan. Media pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan. Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama.

Tingkat kesejahteraan guru yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk berprestasi karena disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin berat. Anggaran pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan unutk ditambah karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa. Apabila tingkat kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar akan lebih banyak tercurah untuk siswa.

Penataran dan pelatihan mutlak diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan pembekalan tidak dilakukan, guru tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini ditambah dengan tidak adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi guru. Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang berprestasi atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.

Guru harus diberi keleluasaan dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan, direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur, Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden sekalipun.

Mutlak dilakukan ketika awal menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar sendiri daripada berkelompok.

Cara belajar siswa yang berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu diasah dan ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan. Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan agar yang diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah ditentukan.

Guru juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.

Pemerintah juga harus senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.

Menurut Jurnal tersebut, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:

1)      Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.

2)      Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

3)      Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.

4)      Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa.

5)      Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).

Dalam konteks yang aplikatif, kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh kompetensi guru, yang meliputi:

1)      Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b) menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.

2)      Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c) melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.

3)      Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b) menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.

4)      Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program pengenalan lapangan.

5)      Menguasai landasan-landasan pendidikan.

6)      Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.

7)      Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.

      Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a) mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b) menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.

9)      Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.

10)  Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).

 

  1. Konsep Mutu Pendidikan
Proses pendidikan yang bermutu ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah itu dan lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth (1992:35) dalam bukunya Your Child’s Scholl, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:

1)      keefektifan kepemimpinan kepala sekolah

2)      partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,

3)      proses belajar-mengajar yang efektif,

4)      pengembangan staf yang terpogram,

5)      kurikulum yang relevan,

6)      memiliki visi dan misi yang jelas,

7)      iklim sekolah yang kondusif,

      penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,

9)      komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan

10)  keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.

Dalam konsep yang lebih luas, mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria tertentu (Surya, 2002:12).

Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.

Berdasarkan konsep mutu pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement).

Selama tahun 2002 dunia pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi, serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN) pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya sendiri.

Fenomena yang menarik adalah perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni menggunakan kata berbasis (based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang “berbasis” itu umumnya dari atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari pengelolaan di tingkat atas menuju sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari sesuatu yang sifatnya nasional menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang populer dan memiliki nuansa yang sama dengan “berbasis” adalah pemberdayaan (empowerment), akar rumput (grass-root), dari bawah ke atas (bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya?

Simak saja label-label perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan nasional (kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum), pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based teaching/training), pendidikan berbasis luas (broad based education), pendidikan berbasis masyarakat (community based education), evaluasi berbasis kelas (classroom based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based evaluation) dikenal juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local based educational management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat (community based educational financing), belajar berbasis internet (internet based learning), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan entah apa lagi.

Fullan & Stiegerbauer (1991: 33) dalam “The New Meaning of Educational Change” mencatat bahwa setiap tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik yang berbeda dan itu merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh.

Supriadi (2002:17) mengatakan: “orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.

Langkah percepatan dapat saja dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar akibat inovasi itu kurang dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Kami menilai bahwa banyak inovasi pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang melanggar prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”, serba tergesa-gesa, serba instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan, dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa depan.